Jebakan Formalisasi




Terlepas dari hiruk-pikuk polemik pesantren, kiranya ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran terhadap pen­erapan UU Pesantren ini. Pertama, problem formalisasi. Kita memahami, ketika pesantren diundangkan maka ada peralihan status dari pendidikan non-fornal menjadi pendidikan formal, atau kita sebut formalisasi.

Formalisasi pesantren dikhawatirkan akan melunturkan kemandi­rian pembelajaran pesantren yang unik dan terintegrasi. Misalnya dalam aspek kurikulum, apakah nantinya kurikulum pesantren itu akan diatur? Apakah akan ada standarisasi kitab kuning? Atau apakah akan ada akreditasi pesantren? Lebih jauh, apakah kiayi perlu disertifikasi?

Formalisasi dalam satu sisi boleh jadi menjadi spirit perbaikan, namun bisa saja ini pisau bermata dua yang akan melunturkan kekhasan pesantren itu sendiri. Selama ini, ada beberapa pesantren yang dikenal dengan kekhasan kitab dan kiainya. Hal ini boleh jadi karena proses pembelajaran kitab kuning itu harus bersanad.

Artinya, Kiai yang mengajarkan kitab kuning dituntut untuk me­miliki ijazah kesanadan yang tidak terputus, sampai pada sang mushannif, pengarang kitab. Kedua, problem administrasi. UU Pesantren mengisyaratkan adanya dana abadi pesantren yang be­rasal dari dana abadi pendidikan.

Ini berarti nantinya pesantren akan mendapatkan anggaran dari negara, yang konsekuensinya memerlukan proses administrasi standar, sesuai dengan aturan yang berlaku. Selama ini, pesantren yang notabene pendidikan non-formal dibiayai oleh masyarakat. Jika ada bantuan dari pemerintah, tidak lebih sebagai dana hibah bantuan, dan itu tidak semua pesantren mendapatkannya.

Nah, kekhawatirannya jika pesantren tidak memiliki kemampuan administrasi, boleh jadi akan menjadi persoalan tersendiri, apalagi ini berkenaan dengan uang negara. Akan ada audit keuangan, dari inspektorat, BPK, BPKP bahkan KPK, yang kita yakin ini menjadi “kejutan budaya” baru bagi pengelola pesantren.

Belum lagi persoalan standarisasi, akrediasi dan sertifikasi yang kiranya ada semacam “efek samping” bagi pengelolaan pesantren. Kita melihat selama ini pesantren dikelola dengan manajemen mandiri yang lebih berbasis pada kearifan lokal. Biasanya sistem pengelolaan ini diwariskan dari generasi ke generasi.

Bila standarisasi ini efektif diberlakukan, maka akan ada “kesibu­kan” baru, yang terang saja akan mempengaruhi kinerja kiai/ustad/ guru di pesantren tersebut. Semoga saja hal ini hanya sekedar kekha­watiran yang tidak beralasan. Semua pihak kiranya perlu mengawal UU Pesantren, sebagai “kado terbaik” atas pengakuan pesantren yang menjadi cikal-bakal pendidikan di Indonesia.

Maqshud al-a’dhom, tujuan agung dari UU Pesantren ini tidak lain adalah semangat untuk meningkatkan sistem pendidikan (keaga­maan) di Indonesia. Prinsipnya, al muhafadhah ‘ala al-qodim al-shalih, wa al-akhdzu di al-jadid al-ashlah, melestarikan tradisi yang baik, dan mengadopsi modernitas yang lebih baik. Kita selama ini sudah melakukan modernisasi di berbagai aspek, mengapa tidak jika kita tetap mengukuhkan tradisi yang sudah baik? (*/dbs)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.