Aceh, Dari Sultan Meurah Johan Syah Hingga Nova Iriansyah (813 Tahun Kemudian)
![]() |
Rumah Adat Dataran Tinggi Gayo, Foto koleksi milik Nab Bahany, Selasa (2/6/2020). |
Oleh Nab Bahany Ahmad
Dari berbagai literatur yang diperoleh, diketahui sebagian besar sejarawan sepakat, bahwa Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) adalah sultan pertama pendiri Kerajaan Aceh, di Aceh Besar. Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mugayat Syah (1514-1530 M).
Berbagai eferensi tersebut menyatakan bahwa Sultan Meurah Johan Syah sebagai sultan pertama yang mendirikan Kerajaan Aceh ini berasal dari Lingge Tanah Gayo (sekarang Aceh Tengah). Ini artinya, Sultah Aceh pertama adalah seorang putra dari Gayo.
Jika dipelajari sejarah asal gelar 'meurah' secara lebih dalam lagi, akan ditemukan bagaimana hubungan Meurah Johan Syah pendiri Kerajaan Aceh pertama di Aceh besar, dengan Meurah Puteh di Kerajaan Pidie, dan Meurah Silu di Pase Aceh Utara. Itu semua terhubung kait dengan Kerajaan Lingge di tanah Gayo.
Tapi hubungan itu akan dibahas dalam kesempatan yang lain. Di sini kita akan fokus pada sejauh mana peran dan kontribusi yang pernah diberikan masyarakat Gayo dulu dalam membesarkan Kerajaan Aceh.
Tidak hanya masa Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) tapi juga setelah Sultan Ali Mugayat Syah (1514-1530 M), mempersatukan semua kerajaan di Aceh ke dalam sebuah kerajaan besar yang diberi nama Kerajaan Aceh Darussalam. Temasuk di dalamnya Kerajaan Lingge dari Gayo, sejak 1514 bergabung dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Tidak hanya masa Sultan Meurah Johan Syah (1205-1235 M) tapi juga setelah Sultan Ali Mugayat Syah (1514-1530 M), mempersatukan semua kerajaan di Aceh ke dalam sebuah kerajaan besar yang diberi nama Kerajaan Aceh Darussalam. Temasuk di dalamnya Kerajaan Lingge dari Gayo, sejak 1514 bergabung dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
![]() |
Nisan Keturunan Kerajaan Linge, Foto koleksi pribadi Nab Bahany, Selasa (2/6/2020) |
Meskipun, kerajaan Lingge itu telah bergabung dengan Kerajaan Aceh Darussalam, mereka dapat terus menjalankan sistem pemerintahannya tersendiri, dengan segala aturan pemerintahannya sendiri. Karena sistem kerajaan Aceh Darussalam saat itu adalah Federal.
Datu Beru dan Gajah Putih
Bicara hubungan Gayo dengan Kerajaan Aceh Darussalam, tentu saja tak lepas dari sejarah Datu Baru dan Gajah Putih. Datu Beru adalah seorang Hakim Agung dari Kerajaan Lingge (Gayo) yang sangat berpengaruh di Kerajaan Aceh Darussalam. Datu Beru diangkat oleh Kesultanan Aceh sebagai Ketua Mahkamah Pengadilan Darut Dunia di Kerajaan Aceh.
Dari profil yang diperoleh tentang sosok Datu Beru ini, ia adalah sosok alim dan sangat adil dalam memutuskan perkara-perkara hukum di Kerajaan Aceh. Nama Datu Beru sekarang diabadikan pada Rumah Sakit Daerah Kabupaten Aceh Tengah.
Sebagai Ketua Mahkamah Pengadilan di Kerajaan Aceh, Datu Beru pernah menangani perkara pembunuhan Benermeriah (abangnya Sangeda) yang melibatkan Raja Lingge 14. Benermeriah dan Sangeda, keduanya adalah anak dari Raja Lingge 13.
Jadi, karena pembunuhan Benermeriah terbukti suruhan Raja Lingge 14 pada algojo istana, maka Datu Beru sebagai Ketua Mahkamah Pengadilan Darud Dunia di Kerajaan Aceh yang menangani perkara Raja Lingge 14 memutuskan hukum Qisas, yang membunuh harus dibunuh.
Maka, sebelum eksekusi pembunuhan dilakukan kepada Raja Lingge 14, Datu Beru sebagai Ketua Mahkamah Pengalan menanyakan pada Ibu Benermeriah, dengan pertanyaannya begini:
"Anak Ibuk Benermeriah sudah tiada (sudah meninggal), dan sekarang ibu tinggal bersama seorang adiknya Benermeriah, yaitu Sangeda. Sekarang paman Sangeda (Raja Lingge 14) juga akan tiada setelah menjalani hukum Qisas. Apakah Ibu rela, setelah Sangeda kehilangan abangnya Benermeriah, sekarang Sangeda akan kehilangan lagi pamannya?", tanya Datu Beru kepada si Ibu Benermeriah.
Atas segala pertimbangan, akhirnya si Ibu Benermeriah memaafkan Raja Lingge 14, atas pembunuhan yang dilakukan terhadap ponakannya Benermeriah. Dengan sudah adanya pemaafan dari Ibu Benermeriah kepada Raja Lingge 14, maka batallah penjatuhan hukum Qisas terhadap Raja Lingge 14 yang diputuskan oleh Datu Beru di Mahkamah Pengadilan Darud Dunia Kerajaan Aceh. Raja Lengge 14 pun selamat dari hukum Qisas.
Kemudian, menyangkut Gajah Putih yang dibawa dari kerajaan Lingge untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh, dalam beberapa referensi yang diperoleh, diketahui bahwa Gajah Putih itu adalah jelmaan dari Benermeriah pada adik Sangeda, agar Sangeda dapat mempersembahkan sebuah Gajah Putih kepada seorang putri Sultan Aceh yang sangat diminatinya.
Setelah 813 Tahun Kemudian
Siklus sejarah memang selalu berulang. Walau dalam masa yang tidak bisa ditentukan, atau bahkan untuk diprediksi sekalipun. Siapa sangka, setelah Sultan Meurah Johan Syah putra dari dataran tinggi Gayo yang mendirikan Kerajaan Aceh pertama 1205, sekaligus sebagai Sultan pertama memimpin Kerajaan Aceh.
Setelah itu, dalam siklus sejarah yang sangat panjang, yaitu setelah 813 tahun kemudian, kepemimpinan Aceh kembali mengulang sejarahnya, yakni dengan kehadiran seorang putra dataran tinggi tanah Gayo menjadi orang nomor satu di Aceh, yaitu bapak Nova Iriansyah, yang kini menjadi Plt. Gubernur Aceh.
Tentu, zaman kepemimpinan Aceh masa Sultan Meurah Johan Syah dengan zaman kepimpinan Aceh masa Gubernur Nova Iriansyah saat ini memang sangat jauh berbeda, dikarenakan selang masa yang sangat jauh pula.
Tidak dapat digambarkan perbandingannya, bagaimana gaya Sultan Meurah Johan Syah dulu ketika memimpin Kerajaan Aceh, dengan gaya Nova Iriansyah dalam memimpin Aceh sekarang ini.
Tidak dapat digambarkan perbandingannya, bagaimana gaya Sultan Meurah Johan Syah dulu ketika memimpin Kerajaan Aceh, dengan gaya Nova Iriansyah dalam memimpin Aceh sekarang ini.
Tapi bukan itu yang hendak disampaikan, namun tentang kehendak ingin untuk memetik hikmah bahwa di sini adalah bagaimana proses keharmonisan sejarah yang telah pernah berlangsung, antara orang dataran dari tanah tinggi Gayo dengan orang dari pesisir di Kerajaan Aceh.
Bahwa dari gambaran sejarahnya dulu tak ada dikotomis, apalagi yang disebut dengan istilah primordialis. Semuanya tampak menyatu dalam sebuah tatanan, apa yang kemudian disebut sebagai peradaban Aceh.
Artinya, Aceh ini adalah sebuah bangsa yang pernah menyatu dalam sebuah peradaban dan karena penyatuan peradaban itulah pula salah satu penyebab hingga telah mengantarkan Aceh di abad 16-17 dapat menjadi identitas sebuah Kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.
Artinya, Aceh ini adalah sebuah bangsa yang pernah menyatu dalam sebuah peradaban dan karena penyatuan peradaban itulah pula salah satu penyebab hingga telah mengantarkan Aceh di abad 16-17 dapat menjadi identitas sebuah Kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.
Tentu Aceh tak mungkin lagi mengulangi kejayaan sejarah itu. Tapi paling tidak, sejarah telah banyak mengajarkan kepada generasi bahwa di dalam memimpin dan membangun sebuah bangsa, sejarah adalah ikhtibar dan pembelajaran yang penting untuk selalu dikenang oleh generasi setelah kita.
*Nab Bahany Ahmad, budayawan, tinggal di Banda Aceh.
Tidak ada komentar