Cacatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan
![]() |
Khaliza Zahara, mahasiswi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Senin (15/6/2020). |
Kontroversi kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan tak dapat dielakkan menuai kecaman dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak? Tuntutan jaksa dalam kasus tersebut dinilai sangat janggal, sehingga dari mulai kalangan akademik hingga masyarakat biasa pun ikut menilai kejanggalan tersebut.
Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dinilai sangat janggal, tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis satu tahun penjara. Terdakwa dianggap bersalah atas perbuatannya melakukan penganiayaan tanpa disertai niat.
Melihat kejanggalan tersebut banyak persepsi yang timbul di kalangan masyarakat terlebih oleh para mahasiswa hukum yang menilai tuntutan tersebut tidak sesuai dengan tingkatan perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan korban buta seumur hidup, sedangkan tuntutan yang dilayangkan meninggalkan permasalahan selanjutnya.
5 Kejanggalan Tuntutan Jaksa
Kejanggalan pertama; Pernyataan janggal jaksa didasarkan bahwa "Terdakwa tidak ada niat". Sebagai suatu pernyataan dari jaksa penuntut umum (JPU) yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.
Mengenai unsur rencana terlebih dahulu setidaknya mengandung 3 (tiga) unsur, diantaranya: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.
Dalam kasus a quo, terdakwa telah memenuhi tiga unsur tersebut sebagai kasus kejahatan yang telah mengandung unsur rencana sebelum melaksanakan kejahatannya. Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman.
Di sisi lain, JPU juga salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan. Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, namun tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel.
Kejanggalan kedua, "Pasal yang Dikenakan hanya Penganiayaan Biasa" sebagaimana dimaksud dalam pasal 353 ayat (2) KUHP, meskipun tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat. JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP.
Hal ini lantaran dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan, artinya ada tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak. Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian,bukan hanya penganiayaan biasa.
Kejanggalan ketiga, "Jaksa sebagai Penuntut Justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa" Jaksa yang seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materil dan keadilan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti.
Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Selain itu, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM.
Kejanggalan keempat, "Tuntutan Tidak Logis dan Mencederai Keadilan" Dalam Pasal yang termuat dalam dakwaan subdidair, Jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara. Namun alih-alih mengambil pilihan itu, Jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun.
Hal ini tentu saja mencederai keadilan sebab bertentangan dengan bahagian hukum "restitutio in integrum" sedangkan hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat.
Tuntutan yang ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan.
Selain itu, dibandingkan kasus penyiraman air keras lain, tuntutan yang diajukan dalam kasus Novel tergolong sangat ringan. Dalam kasus Lamaji di Mojokerto, dakwaan JPU menggunakan alternatif gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.
Kejanggalan kelima, "Tidak Diungkapkan Aktor Intelektual dan Motif dalam Kasus Tersebut". Terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.
Motif tersebut dinilai tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel. Di sisi lain, Novel juga tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa. Dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan sebagai Penyidik KPK yang menanganin kasus-kasus besar.
Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enak kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.
Selain lima kejanggalan yang sudah dipaparkan, ternyata masih banyak sekali kejanggalan yang dapat dirasakan dalam kasus ini, dari kejadian 2017 sampai sekarang baru diketahui dan ditangkap terdakwanya.
Hal ini tampak sekali kejanggalan yang rasa-rasanya ditutup- tutupi dengan sedemikian rupa. Harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada Palu Majelis Hakim.
Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman terhadap terdakwa. Termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara obyektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat.
Jangan sampai timbul persepsi di kalangan masyarakat menjatuhkan putusan juga ketidaksegajaan seperti layaknya pengakuan terdakwa, sebab hal tersebut justru yang akan sangat mencoreng citra Majelis Hakim yang Terhormat. Namun keputusan hakim harus atas nama keadilan.
*Penulis adalah mahasiswi Hukum Tata Negara Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh
Tidak ada komentar