Pemerintahan Pidie Gagal Membangun Moral di Ranah Kesehatan

Ilustrasi by: http://riaugreen.com/
Oleh: Fahmi Nuzula

Pidie -
Saat menghadapi peristiwa persalinan istri di Kabupaten Pidie, Sigli untuk melahirkan anak ketiga saya di RSUD Teuku Chik Ditiro, jalur pelayanan kesehatan yang dipilih adalah jalur BPJS.

Sebagai rakyat yang sepatutnya dijamin kesehatannya oleh negara, anggapan wajar muncul untuk selalu mengutamakan jalur BPJS terkait bidang kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang kaya maupun orang miskin, semua itu menjadi pilihan sebab BPJS sejatinya sebuah layanan sudah dibayar oleh negara.

Minggu, 21 Juni 2020 saat itu saya menemani istri, kondisi yang dirasakan seolah-oleh di rumah sakit negeri sendiri saya bagai merasa sedang berada di Somalia, seharusnya rakyat sebagai pemilik sah segala fasilitas yang wajib disediakan harus dilayani oleh petugas, ini malah sebaliknya.

Melalui gambaran ilustrasi tulisan ini, saya mengisahkan sekelumit tanggapan terkait harapan selaku rakyat Aceh dalam hal memperoleh layanan kesehatan yang harusnya memadai dan standar diberikan oleh pemerintah terhadap rakyatnya.

Pelayanan Pemerintahan Pidie bagi saya telah gagal membangun moral di ranah kesehatan, alasannya bahwa antara harapan saya sebagai rakyat Aceh yang seharusnya memperoleh manfaat dari semua sumber dana yang telah digelontorkan pemerintah pusat untuk negeri Aceh untuk menyediakan fasilitas kesehatan sepertinya justru gagal, sekaligus membuktikan bahwa cerminan pemimpin di daerah Sigli atas kinerja buruknya.

Kekecewaan atas pelayanan kesehatan yang dialami tersebut membuat saya berani menyatakan kepastian bahwa Pidie hari ini terkait program untuk melakukan pembangunan fisikal dan moral meraih nilai nol besar, semua rencana program justru hanya pencitraan yang terlalu dipaksakan untuk diakui bahwa pemerintah memang berhasil.

Ada beberapa poin  yang harus dibenah dari pelayanan kesehatan oleh pihak medis;

1. Perlakukan pasien gawat darurat dengan Katertek  yang tinggi misalnya  segera meninggalkan kegitan lain, jangan anggap sepele apalagi ini di Aceh orangnya sensitif bisa berakibat masyarakat beranggapan bahwa petugas medis itu kurang peka bahkan paling tidak dia ingin dianggap sombong dan pilih bulu dalam pelayanan.

2. Lakukan penanganan dengan hati, anggaplah bahwa itu memang sudah tugasnya sebagai tenaga medis.

3. Jangan menyampaikan aturan baru di depan pasien yang lagi sekarat, misalnya pembatasan pendampingan satu orang atau dua orang saat pasien lagi sekarat. Ini bukan saja bisa berakibat hal-hal yang tidak bagus, tapi melambangkan bahwa Pemerintah Pidie gagal membangun moral di ranah kesehatan Kabupaten Pidie.

Kemudian yang paling membuat saya sangat kecewa hingga tidak bisa menerima terkait fasilitas di RSU Tengku Chik Ditiro terlihat sangat kurang perawatan, salah satu yang paling konyol saluran air tidak berfungsi, padahal fasilitas tersedianya air di lingkup rumah sakit justru adalah sesuatu yang paling sakral mesti harus steril tanpa memandang waktu.

Artinya, ketersediaan air dianggap primer sehingga harus betul-betul bagus sebagaimana program pencitraan yang dicanangkan di meja kopi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie.

Harapan saya semoga Pemerintah Pidie segera harus membenah semua persoalan yang menjadi catatan buruknya kinerja RSUD Teuku Chik Ditiro demi terciptanya pelayanan kesehatan secara baik bagi seluruh masyarakat Pidie.

Saya bukan tidak punya uang untuk melakukan proses persalinan istri saya di VIP tapi saya merasa punya hak yang sama untuk merasakan bagaimana menjadi rakyat biasa. Sehingga sebab itulah sangat menyayangkan kegagalan Pemerintah Pidie khususnya di ranah pelayanan kesehatan.

Saya berharap siapapun periode ke depan jika terpilih sebagai bupati perkuat program pelayanan yang berbasis rakyat. Lakukan langkah pembangunan dengan hati bukan dengan nafsu kekuasan. Cukup sudah rakyat kecil terabaikan mulai dari konflik Aceh berkepanjangan sampai selesai MoU Helsinki pun Masyarakat masih tidak terlayani secara manusiawi.

Tentu tidak bermaksud untuk membahas konflik dan perdamaian di Aceh, tapi saya menyayangkan anggaran melimpah dari pusat untuk Aceh, namun yang mampu dihidangkan oleh Pemda setempat untuk rakyat hanya canang atau pencitraan konyol, disamping lagi seolah-olah meski semuanya itu nihil prestasi malah yang harus rakyat akui adalah pemangku kekuasaan memang hebat, apanya yang hebat?.

*Penulis adalah warga Indonesia, menetap di Aceh.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.