Tuntasnya Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan bisa Mencegah Konflik Baru di Aceh dan Lahirnya Keadilan Struktural.
“Kementerian ATR/BPN harus Ikhlas untuk Aceh agar Perdamaian Aceh Terpelihara”
Banda Aceh - Komisi I DPR Aceh telah melakukan beberapa rapat
koordinasi dan konsultasi dengan Kementerian terkait guna mempercepat
pengesahan Rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan. Kegiatan yang berlangsung
di Jakarta sejak tanggal 26 dan 27 November 2020.
Roadshow delegasi dipimpin oleh Tgk. Muhammad Yunus M. Yusuf selaku Ketua Komisi I DPR Aceh dan didampingi
oleh Saiful Bahri (Sekretaris Komisi I DPR Aceh), Ir. H. Azhar Abdurrahman,
Darwati A. Gani, Fuadri, S.Si, M.Si, Bardan Sahidi, H. Ridwan Yunus, SH
masing-masing sebagai Anggota Komisi I DPR Aceh dan ikut serta juga Junaidi, SH,
MH dari Biro Hukum Setda. Aceh, Nurdani, SH, MH dari Kanwil Kemenkum HAM Aceh, M.
Fahmi dari HaKA dan Syahrul, SH, MH dari LBH Banda Aceh.
Pada kesempatan kunjungan pertama adalah ke Direktorat Jenderal
Otonomi Daerah Kemendagri pada hari Kamis, 26 November 2020 di Gedung F Lantai
III. Delegasi diterima oleh Raden Sartono (Kasubdit Pemerintah Aceh, DKI
Jakarta, dan DI Yogyakarta Kemendagri), Kuswanto MURP Ph.D (Kasie Otsus Aceh)
dan Jumiran (Kepala Seksi wilayah IA Subdit Wilayah I Dit. PHD Kemendagri).
Dalam pertemuan tersebut pihak Kemendagri yang dalam hal ini
disampaikan oleh Raden Sartono bahwa pihak Dit. PHD sudah membahas permasalahan
pelimpahan kewenangan bidang pertanahan dan termasuk rancangan qanun pertanahan
dengan Komisi II DPR R.I, Kantror Staf Kepresidenan dan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/BPN dan belum dapat disimpulkan kesimpulan akhir. Rancangan Qanun
Aceh tentang Pertanahan ini perlu pertimbangan dari Kemenerian ATR, tegas
Raden.
“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam setiap pertemuan
dengan kami selalu mempertanyakan kesiapan Aceh dalam hal peralihan kewenangan
bidang pertanahan”, tegas Raden.
“Bagi Kemendagri pertanyaan itu juga penting di jawab oleh Pihak
Pemerintahan di Aceh dalam bentuk kesiapan SDM dan Anggaran untuk menyakinkan
pihak Kementerian ATR/BPN karena urusan tanah adalah urusan sensitif sehingga
harus mendapat tanggapan dari Kementerian terkait”, tambah Kuswanto.
“Pihak Aceh mohon menyiapkan bahan-bahan dan segera dikirimkan
kepada Kemendagri karena dalam waktu dekat pihak Dit. PHD Kemendagri akan
melakukan rapat virtual dengan Kementerian ATR/BPN sehingga dapat dibantu
pengambilan kebijakan”, timpal Raden.
Dari Komisi I DPR Aceh menambahkan, Aceh tidak merebut kewenangan
Pemerintah Pusat tapi menjemput hak Aceh yang telah diberikan oleh Pemerintah
Pusat sesuai dengan Pasal 213 dan pasal 214 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan juga amanah dari MoU Helsinki poin 3.2.5, tegas
Tgk. Muhammad Yunus.
“Rancangan Qanun tentang Pertanahan ini, banyak menjadi perhatian
public, kami menerima banyak masukan, saran dan pendapat pasal-pasal krusial
dari elemen masyarakat sipil/CSO baik di Aceh dan luar Aceh. Begitu besar
perhatian dan harapan masyarakat atas qanun ini termasuk yang hadir dalam RDPu
dari Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Aceh”, tambah Ketua Komisi I DPR Aceh.
“Pemerintah dalam kurun waktu yang lama di masa lampau,
mengeluarkan izin HGU, HTI dan Kontrak Kuasa Pertambangan hamper di seluruh
Aceh, yang tidak berkontribusi pada kesejahteraan rakyat Aceh. Ini adalah
momentum, untuk mengevaluasi semua perizinan HGU di Aceh”, sebut Bardan Sahidi
yang dekat dengan jaringan LSM Internasional ini.
Bahwa rancangan Qanun Aceh tentang Pertanahan merupakan jati diri baru bagi rakyat Aceh dan dalam istilah perang bahwa tujuannya adalah rebut wilayah dan kibarkan bendera tapi sekarang sudah damai dan Aceh akan mengambil hak apa yang sudah diberikan dalam MoU Helsinki maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh”, tegas Azhar Abdurrahman mantan Panglima GAM Meurouhom Daya.
Saiful Bahri yang merupakan Sekretaris Komisi I DPR Aceh yang juga
mantan Panglima pertempur GAM mengharapkan jangan ada lagi diberikan
janji-janji palsu kepada Aceh dan pada kesempatan ini mohon diberikan
kewenangan Aceh yang telah tertuang dalam MoU dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 dan pihak Kemendagri harus membantu segera lahirnya Qanun Aceh tentang
Pertanahan, kemudian Aceh ini beda dan jangan disamakan dengan Provinsi lain.
“Soal tanah telantar baik dalam status HGU, HPH dan HTI mohon
diserahkan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Aceh dan apabila poin
3.2.5 MoU Helsinki diakomodir maka akan terbangun trust (kepercayaan, red) baru
di Aceh” tambah Azhar yang juga Ketua Banleg DPR Aceh.
Bardan Sahidi menambahkan bahwa dengan lahirnya Perpres 23 tahun
2015 telah muncul dua lembaga dan dualisme kewenangan yaitu Kanwil BPN Aceh dan
Dinas Pertanahan Aceh dan bahkan 14 Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal ini sangat
tidak baik dan semoga dengan segera lahirnya Raqan Pertanahan ini bisa
mengihilangkan dualisme kewenangan dan lembaga sehingga Pemerintah Aceh diberi
ruang untuk mengurus bidang pertanahan salah satunya Hak Ulayat dan juga adanya
partisipasi publik atas tanah.
Raqan Pertanahan ini bisa menyelesaikan persoalan tanah di Aceh
termasuk merealisasikan poin 3.2.5 MoU Helsinki yaitu peruntukan tanah
pertanian yang pantas untuk para mantan kombatan GAM, Tapol/Napol dan Warga
Sipil korban konflik, tegas Darwati A. Gani.
Ridwan Yunus menambahkan bahwa seharusnya raqan pertanahan ini
harus lahir pada tahun 2008 sesuai perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
namun baru dapat dimulai lanjut pembahasan yang tertunda di 2018 pada tahun
2020 ini. Senada dengan hal itu, Fuadri menimpali bahwa setiap kewenangan Aceh
yang sudah diberikan mohon dikembalikan ke Pemerintah Aceh karena rakyat itu
harus berperan aktif dalam pembangunan dengan adanya kedaulatan atas tanah
mereka dan ini perlu dukungan dari Kemendagri agar raqan ini dapat dipercepat
proses harmonisasi oleh Kementerian ATR/BPN.
Syahrul dan M. Fahmi dari Civil Society menambahkan bahwa alasan
ketidaksiapan Pemerintah Aceh dalam hal pelimpahan kewenangan bidang pertanahan
merupakan alasan yang klasik karena selama ini Pemerintah sangat siap atas
pelimpahan kewenangan tersebut karena telah siap dalam segi anggaran, personil
dan lembaga dengan lahirnya Dinas Pertanahan Aceh. Selain itu, banyak kerusakan
lingkungan karena adanya HGU yang mengurangi lahan pertanian rakyat Aceh
sehingga rakyat merambah kawasan hutan untuk bertani maupun berkebun sebab
tidak adanya lahan kosong.
Pada hari yang sama, Delegasi Komisi I DPR Aceh juga menggelar
pertemuan dengan Komisi II DPR-RI yang diterima oleh Tim Ahli dan menyampaikan
hal yang sama dan Tim Ahli memberi informasi bahwa ada rencana perubahan
Undang-Undang Pokok Agraria dan sudah masuk dalam Prolegnas.
Ketua Komisi I DPR Aceh, Tgk. Muhammad Yunus M. Yusuf menyampaikan
bahwa melalui Komisi II DPR Aceh harus menyakinkan Pemerintah Pusat melalui
Kementerian terkait agar memperhatikan kekhususan Aceh dan diberikan hak-hak
yang telah dirumuskan dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh khususnya bidang Pertanahan dan juga pelaksanaan Pilkada
serentak tahun 2022.
Kasus kriminal dan perceraian di Aceh banyak disebabkan oleh
fraktor ekonomi karena keterbatasan lahan petanian untuk mencari nafkah, hal
ini diakibatkan oleh banyak lahan kosong sudah dikuasasi oleh pemilik HGU, HTI
dan HPH dan itu berada di sekitar tempat tinggal penduduk, timpal Nurdani dari
Kanwil Kemenkum HAM Aceh berdasarkan penelitian komprehensif.
Selanjutnya pada tanggal 27 November 2020, Komisi I DPR Aceh
melanjutkan pertemuan dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian Hukum dan HAM yang diterima oleh Bapak Yulanto Araya, SH, MH (Kasie
Fasilitasi Perancangan Perda I Direktorat Perancang Undang-Undang) dan Kadek Aditya
Fermana, SH (Perancang Pertama Peraturan Perundang-Undangan). Dalam pertemuan
tersebut Komisi I DPR Aceh mendapat pencerahan bahwa Pihak Ditjend PP Kemenkum
HAM akan membantu Aceh dengan mengakomodir semua masukan dan terkait makanisme
penyusunan perlu kajian dan dari aspek lain juga harus diperhatikan keadilan,
sejarah dan sosial.
“Kita sekarang adalah mengobati luka sejarah dan untuk memperbaiki
harus pelan-pelan dan kami tidak hanya memberi janji manis tapi akan mencoba
membantu. Kalau fasilitasi itu lewat waktu sesuai aturan bisa lanjut aja. Kalau
Kementerian ATR nya lama memberikan jabawaban maka Kemendagri bisa langsung
lanjut. Kalau seandainya di bilang Aceh tidak siap kenpa merapa tidak
membantu?” Timpal Anto.
“Sehurusnya harus ada itikat baik karena dalam Undang_undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di pasal 213 dan pasal 214 sudah jelas
diberikan kewenangan bidang pertanahandiatur dengan qanun. Kami apresiasi dan
UUPA adalah Undang-Undang sakral bagi Pemerintahan di Aceh karena banyak korban
dan lamanya konflik. Kami dukung qanun ini dan apabila ada undangan dari
Kementerian/Lembaga maka kami akan berikan pendapat. Senandainya tidak
mencederai konteks NKRI kenapa tidak diberikan?” Timpal Anto.
Dan pertemuan selanjutnya dengan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/BPN R.I yang seyogyanya dijadwalkan siang selepas shalat Jum’at urung
dilaksanakan dengan alasan yang kurang jelas dimana sebelumnya sudah mendapat
lampu hijau diagendakan sore hari namun tiba-tiba diminta re scehdule minggu
depan setelah Menteri ATR mengumpulkan pejabat dilingkungan kementerian
dimaksud. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi Komisi I DPR Aceh ada apa
sebenarnya?
Pada akhirnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN R.I
siap menerima Delegasi Komisi I DPR Aceh dan Tim dari Pemerintah Aceh secara
virtual dengan jam dan tanggal dalam minggu pertama bulan Desember 2020.
Untuk itu, Komisi I DPR Aceh menghubungi Ketua Forbes DPR/DPD RI yaitu Bapak H. Muhammad Nasir Djamil, M.Si untuk bertemu dan Komisi I DPR Aceh akhirnya menggelar rapat di Kantor Badan Penghubung Pemerintah Aceh di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut banyak pencerahan dan masukan yang disampaikan oleh nasir Jamil khususnya hambatan-hambatan serta peluang-peluang yang dapat ditembuh untuk mempercepat lahirnya Qanun Aceh tentang Pertanahan dan juga pelimpahan dan pengalihan Kanwil BPN Aceh menjadi Badan Pertanahan Aceh. Pertemuan yang berlangsung tanggal 27 November 2020 pukul 14:00 WIB lebih menitik beratkan agar menekan Kementerian ATR/BPN dan juga Kementerian Dalam Negeri untuk mempercepat proses dengan dukungan penuh dari DPR RI khususnya Anggota dewan dari Dapil Aceh.
Tidak ada komentar