Mustafa – Nazar Sepakat; Wajib Adanya Konsistensi Kebijakan Siapapun Pemimpin di Aceh
Jakarta – Mantan Pj Gubernur Aceh Dr. Ir. H. Mustafa Abu Bakar Sepakat Seirama dengan pendapat mantan Wagub Muhammad Nazar, bahwa pembangunan berkelanjutan itu bisa berjalan jika ada konsistensi kebijakan, perencanaan yang baik dan kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM).
Muhammad Nazar menyampaikan pendapatnya setelah diminta untuk menanggapi
apa yang disampaikan para pemateri dalam dialog eklusif, mengangkat topik yang
amat penting, Mencari Solusi Pembangunan Aceh Berkelanjutan, yang diorganisir
secara daring online by zoom dari Jakarta, kemarin, Sabtu, 13/03/2021.
Acara tersebut dikemas dalam bentuk Forum Grup Discussion (FGD) yang
melibatkan beberapa pemateri dan peserta aktif secara jarak jauh. Ada tiga
pemateri untuk topik tersebut, yaitu Dr. Ir. H. Mustafa Abu Bakar, mantan Meneg
BUMN, Prof. Dr. Afridar, SE, M. Si Rektor UNIKI dan Dr. Dhafi Iskandar, Dewan
Pakar FORMAD diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Paska Sarjana (IMPAS) bekerjasama
dengan Forum Mahasiwa Aceh Dunia (FORMAD) yang berbasis di Jakarta.
Mantan Wakil Gubernur (Wagub) Aceh H. Muhammad Nazar, praktisi keuangan
Teuku Umar Laksamana dan puluhan peserta lainnya dari dalam dan luar negeri
juga ikut aktif sepanjang acara. Secara umum mereka adalah tokoh politik,
mantan pejabat publik, birokrat, kalangan akademisi, pengamat, aktifis,
pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan para wartawan.
Menurut Nazar yang sangat berperan dalam kesuksesan pemerintahan Aceh
periode 2007-2012 dalam pembangunan berkelanjutan itu, adalah konsistensi
kebijakan, perencanaan yang baik, sumber daya manusia dan pemerintahan yang
kuat sekaligus baik.
Respon Nazar tersebut diamini dan diulang kembali oleh Mustafa Abu Bakar
dan para pemateri serta peserta yang ikut memberikan pemikiran mereka di FGD virtual
tersebut. “Benar sekali apa yang disampaikan Adinda wagub Nazar terkait
pembangunan berkelanjutan dari segi konsepsi, implementasi dan memang wajib
adanya konsistensi kebijakan siapapun pemimpinnya di Aceh,” akui Mustafa yang
juga mantan Ka-Bulog dan Meneg BUMN itu.
Dalam presentasi pertama, Mustafa Abu Bakar yang pernah menjadi Pj Gubernur
Aceh 2005-2006, tampil dengan mengisahkan beberapa pengalamannya menangani Aceh
hingga melaksanakan Pemilukada langsung pertama sesuai amanah undang-undang
ketika usia damai masih berbenih usai konflik panjang di Aceh.
Tokoh nasional
asal Aceh yang kini menjadi komisaris bank Bukopin itu menyebut, Aceh memiliki
potensi yang luar biasa, mulai dari alam hingga sumber daya manusia. Ia bangga
dengan hal itu, sekaligus ia menyatakan prihatin.
“Sebagai orang
Aceh saya bangga kita memiliki sumber daya manusia dan sumber alam yang cukup
kuat. Tetapi saya juga prihatin ketika mendengar hasil pembangunan dan
kemiskinan yang belakangan menjadi sorotan miris banyak pihak,” katanya
menanggapi beberapa pernyataan dan pertanyaan peserta.
Sementara itu,
Prof. Dr. Afridar yang pernah memimpin Unimal Lhokseumawe selama dua periode mempresentasikan
beberapa konsep pembangunan. “Kita harus membangun Aceh secara terkonsep dan
tidak mungkin seluruhnya lepas dari teori ilmiah,” ujarnya.
Selain kedua
tokoh itu, tampil pula Dr. Dhafi Iskandar alumni salah satu universitas di
Paris, Perancis dengan narasi pembangunan Aceh yang tidak mungkin lepas dari
dunia dan sistim teknologi informasi digital.
Wajib Adanya
Konsistensi & Implemensi RPJP, Selain Sumber Daya
Usai ketiga pembicara tersebut menyampaikan presentasi mereka, mantan Wagub
Aceh, Muhammad Nazar yang namanya sedang diharapkan publik secara luas untuk
mengisi sisa jabatan wagub Aceh mendampingi dan membantu gubernur Nova
Iriansyah, diminta secara khusus oleh pelaksana acara melalui moderator Andri
Munazar untuk memberikan responnya.
Tokoh aktifis gerakan sipil Aceh yang kini memimpin Partai SIRA itu
menjelaskan, sesuai konsepsi dan tuntutan setiap manusia yang menjadi warga di
berbagai negara, bahwa pembangunan berkelanjutan itu bukan hanya agenda Aceh
dan Indonesia. Itu telah menjadi program global yang ditetapkan serta didorong
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Pembangunan berkelanjutan itu harus memenuhi kebutuhan hidup masa kini
tanpa meninggalkan masa depan atau generasi masa depan. Kualitas hidup menjadi
hal yang wajib dipenuhi. Ruang lingkup tujuan kesejahteraan ekonomi, keadilan
sosial hingga perlindungan lingkungan dengan pendekatan komprehensif merupakan
hal-hal utama yang harus mencapai target yang diharapkan. Bahkan setiap dampak
atau potensi dampak negatif atau positif yang muncul harus dapat direspon cepat
dan tepat,” jelasnya.
Menurut tokoh yang sering disebut wagub senior itu, dalam pembangunan
berkelanjutan strategi ekonomi bagi banyak negara dan bangsa di dunia memang
menjadi prioritas untuk mencapai kesejahteraan ekonomi tetapi tetap tidak boleh
merusak lingkungan. Hasil sumber daya alam itu akan habis dan sungguh rugi jika
tak menguntungkan daerah penghasil serta rakyatnya. Merusak alam dan lingkungan
berarti modal kelanjutan pembangunan menjadi hilang.
“Konsepsi global tentang pembangunan berkelanjutan ini cocok juga dengan
kearifan sosial di Aceh yang berlaku sejak dulu, meunyo pruet ka troe, teumpat
tinggai ka na, keundaraan ngen jak ka teuseudia, hana udep lam seupôt le,
peundidikan meurata, nafkah keuluarga lancar maka itu menjadi standar awal
serta amat sangat penting dalam mencapai kualitas hidup. Jadi konsepsi
pembangunan berkelanjutan yang dibangun dunia secara global memang cocok dengan
kearifan lokal sosial di Aceh juga ,” ujarnya.
Ia juga menyebut, sebenarnya konsep dan strategi pembangunan Aceh yang
komprehensif sudah dibuat pada masa dirinya dan Irwandi Yusuf memimpin Aceh
2007-2012, termasuk rencana strategis pendidikan Aceh jangka pendek hingga
jangka panjang yang mendapat penghargaan terbaik nasional.
“Waktu itu kita menggunakan berbagai masukan termasuk dari beberapa staf
ahli dari donor internasional, selain yang sudah kita buat sendiri terlebih
dahulu sebagai visi misi pemerintahan Aceh ketika kita kampanye untuk
pemenangan di Pemilukada tahun 2006, bagaimana menjaga damai, mengisinya hingga
membangun Aceh yang dapat dirasakan rakyat maupun membangun peradaban untuk
jangka panjang,” ungkapnya.
Nazar membeberkan, jika pada masa itu Rancangan Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Aceh diakui nasional dan sangat bagus. “Sayangnya itu hanya terlaksana
beberapa tahun secara utuh selama Irwandi-Nazar mempin Aceh. Tetapi pada masa
pemerintahan berikutnya, karena dosis politik tak terkontrol dan berlebihan,
RPJP sebagai design pembangunan untuk dua puluh tahun dan program-program
strategis banyak terpotong padahal jumlah anggaran jauh lebih besar. Sehingga
ada banyak hal yang semestinya sudah terbangun pada masa pemerintahan Aceh
periode 2012-2017 justru tidak terjadi dan mau tida mau sebagian besar peogram
strategis Aceh harus kembali dimulai lagi pada masa pemerintahan 2017-2022,”
jelasnya lagi.
Menurutnya, sejauh rancangan pembangunan tidak berjalan dan tidak ada
konsistensi kebijakan, atau jika setiap pemerintahan baru terpilih selalu
merubah hal-hal yang strategis atau tidak konsisten dengan RPJP maka keadaan
tak akan berubah lebih baik secara signifikan meski jumlah anggaran sangat
besar. Justru kecenderungan program berorientasi proyek berbenefit jangka
pendek untuk melayani kelompok atau pemegang kapital tertentu akan muncul.
Nazar meneruskan lagi, hal seperti itu termasuk yang menjadi penyebab
sulitnya mengentaskan kemiskinan dan tidak mudah memperbaiki kualitas hidup.
Bahkan lingkungan ikut rusak ketika keinginan profit jangka pendek memanfaatkan
dana negara tak terawasi. Masyarakat juga pada saat yang sama terpaksa merusak
alam. Otomatis jangankan mencapai kesuksesan pembangunan berkelanjutan, justru
yang muncul adalah ikut mendestruksi yang telah ada, sengaja atau tidak.
Jika demikian situasinya, “apa yang akan terjadi adalah bukan pembangunan
berkelanjutan tetapi berpotensi terjadi konflik berkelanjutan,” Nazar
mengingatkan.
Pendapat Nazar itu ikut diulang-ulang lagi dan diaminkan Mustafa Abu Bakar,
dimana konsistensi kebijakan dan konsepsi pembangunan memang harus segera
ditata kembali di Aceh. Nazar dan Mustafa Abu Bakar serta sejumlah peserta juga
sepakat jika pembangunan di Aceh mesti dikelola oleh pemerintah yang
berkemampuan, memiliki SDM yang kuat dan kultur yang baik. Perubahan kultur
sosial dan birokrasi untuk merubah keadaan pembangunan yang lebih baik juga
ikut disinggung tokoh SIRA itu ketika menyampaikan pendapatnya di FGD itu.
Usai acara, Ketua IMPAS, Yunizar, M. Si menyampaikan apresiasi kepada
seluruh pemateri dan peserta yang telah mengkontribusikan pemikiran-pemikiran
mereka untuk perbaikan pembangunan di Aceh. Birokrat muda yang berlatar
belakang aktifis itu berjanji akan melanjutkan kegiatan yang sama dengan
topik-topik berbeda serta rekomendasinya akan disampaikan secepatnya kepada
pihak pemerintahan di Aceh.[&]
Tidak ada komentar