Abu di Ujung Pengabdian: Simbol Berakhirnya Loyalitas Sang Veteran
Imran Joni |
BANDA ACEH - Hari itu, Selasa, 8 Oktober 2024, seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam berdiri tegak, dikelilingi oleh beberapa rekan wartawan dan aparat keamanan dari Polresta Banda Aceh. Ia bersuara, membunyikan protes dan rasa kecewa. Di tangannya, sebuah kaos hitam bertuliskan "Harian Rakyat Aceh" perlahan terbakar, luruh menjelma abu. Suatu gestur simbolik, penanda berakhirnya loyalitas selama hampir dua dekade bersama Si Biru Metropolis.
Para jurnalis, khususnya para veteran lokal tentu mengenal sosoknya. Selama lebih dari tiga dekade, lelaki kelahiran Banda Aceh, 3 November 1964, ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pers di Aceh.
Ia menceritakan, "Tahun 1987 awalnya. Waktu itu saya kerja di surat kabar yang terbit mingguan, namanya Koran Peristiwa. Ini surat kabar dulu dipimpin Surya Paloh dan Pak Acha. Selama di sana, saya banyak mengasah kemampuan nulis dan jurnalistik."
"Waktu di Atjehpost, tahun 1989, saya mulai belajar merancang tata letak koran, istilahnya *lay-outter*. Di surat kabar ini jugalah pertama kali saya mulai paham bagaimana dinamika dunia pers, terutama pers lokal," tambah Imran.
Bekerja di dua media cetak lokal itu membuat kemampuan dan kreativitasnya berkembang pesat. Selain di Atjehpost dan Peristiwa, namanya juga tercatat di sejumlah media lain, baik lokal maupun nasional, salah satunya adalah media cetak lama bernama Berita Yudha (1996) yang dulu berbasis di Jakarta.
![]() |
Imran Joni (baju kotak-kotak hitam) bersama anggota SIWO PWI Aceh tahun 2000 (Instagram: @imran.joni) |
Sebagai seorang pecinta olahraga sejati, Imran Joni selalu aktif menulis berita-berita olahraga. Baginya, olahraga bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga sarana untuk mempererat tali persaudaraan dan mempersatukan masyarakat. Minatnya yang besar pada bidang ini jugalah yang membawanya dipercaya memimpin Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia Aceh atau SIWO PWI Aceh sebanyak dua kali, di tahun 2010 dan 2021.
"Olahraga itu menyatukan kita. Di lapangan, kita semua sama, gak ada perbedaan status atau jabatan," ujarnya kepada wartawan koranaceh.net.
Salah satu ciri khas Imran Joni yang paling menonjol adalah keramahannya. Ia tidak pernah pilih-pilih teman. Bagi Imran, warung kopi adalah tempat yang tepat untuk bersilaturahmi dan berbagi cerita. Di sanalah ia merasa paling nyaman, berbaur dengan rekan-rekan sesama wartawan. Canda tawa dan gurauan khasnya selalu berhasil menghidupkan suasana.
"Di warkop, kita bisa ngobrol apa aja sama kawan-kawan wartawan. Tukar-tukar info, bahas berita atau liputan terbaru, kadang bercanda, kadang ngeluh masalah kerjaan. Pokoknya, warung kopi itu tempat yang pas buat melepas penat setelah seharian berurusan dengan pekerjaan," ceritanya.
***
Apa yang sebenarnya mendorong Imran Joni berani melakukan aksi tunggal di teras kantor Harian Rakyat Aceh ini? Ternyata, musababnya ada pada sebuah sertifikat tanah yang dimiliki oleh empu Jawapos Group.
"Pada bulan Agustus 2024, Komisaris PT Aceh Intermedia Pers, Ade Dardiri, meminta saya untuk menemui Pak Dahlan Iskan di Jakarta. Hasil pertemuan dengan Pak Dahlan selaku pemilik sertifikat tanah yang tertera sesuai dalam akte itu, meminta saya untuk memegangnya, jangan kasih kepada siapapun." ujarnya, pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Meskipun telah berulang kali Ade Dardiri, Sang Komisaris, memintanya untuk menyerahkan sertifikat itu, Imran Joni tetap bersikukuh menolak memberikannya kepada siapapun selain pemilik yang sah. Baginya, ini adalah masalah prinsip dan kepercayaan.
"Saya berjanji tidak akan memberikan sertifikat itu kepada siapapun, kecuali kepada nama yang tercantum dalam sertifikat itu. Karena ini punya konsekuensi hukum, seharusnya teman-teman di perusahaan tahu soal itu, bukan malah merongrong saya," tegasnya.
Dalam orasi tunggalnya yang berlangsung selama kurang lebih 4 menit itu, Imran mengungkapkan bahwa dirinya telah didatangi sebanyak dua kali, pada Agustus dan September 2024, yang disertai dengan ancaman akan dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Utama Harian Rakyat Aceh apabila menolak.
"Mengapa mereka tak langsung meminta sertifikat tersebut kepada pemiliknya? Bagaimanapun, orang-orang yang memintanya tahu siapa pemilik asli sertifikat itu. Identitas pemilik bukanlah rahasia, tapi justru saya yang di tekan," ujarnya ketika dihubungi koranaceh.net, Rabu, 9 September 2024.
Imran Joni dalam aksi unjuk rasa tunggal di depan kantor Harian Rakyat Aceh (acehherald.com) |
Polemik di antara Imran dengan pihak Komisaris Harian Rakyat Aceh pun mencapai titik didihnya ketika dikeluarkannya surat pemberitahuan Imran Joni sebagai Direktur Utama (Dirut) pada 9 September 2024 lalu. Pemberitahuan yang baru diketahuinya delapan hari kemudian setelah menerima Surat Elektronik (Surel) yang dikirim melalui pesan WhatsApp pada 17 September 2024.
"Sampai hari ini belum ada selembar resmi yang saya terima terkait pemberhentian saya, kecuali 'pengumuman' dalam bentuk surel itu," kata Joni dengan nada kecewa.
Pemecatannya ini menimbulkan riak-riak gaduh di kalangan pers lokal. Betapa tidak, jurnalis senior yang sudah berkontribusi selama hampir tiga dekade, tepatnya 19 tahun 8 bulan, di Harian Rakyat Aceh itu harus berakhir karena sebuah masalah yang menurutnya tidak perlu terjadi. Masalah yang sampai hari ini masih menjadi misteri baginya.
Sementara itu, di tempat terpisah, mengutip dari acehherald.com, Sulaiman SE, Direktur Operasional PT Aceh Intermedia Pers, perusahaan yang menaungi Harian Rakyat Aceh, mengatakan bahwa pembayaran uang pesangon untuk Imran Joni akan direalisasikan setelah proses penghitungan piutang selesai.
Di ujung harapannya, Imran hanya ingin keadilan.[]
Tidak ada komentar