Pilkada Aceh Melanggar UUPA
Dr. Taufiq A. Rahim
*Pengamat Ekonomi dan Politik dari Universitas Muhammadiyah Aceh
Kondisi politik saat pilkada Aceh cenderung semakin tidak sehat. Hal ini berawal dari ketidakjujuran pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Pilkada Aceh tahun 2024 adalah perbuatan melawan hukum. Kegiatan ini dilaksanakan tidak berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya, inkonstitusional.
Pasal 65 Ayat 1 UUPA menyebutkan, bahwa Pilkada dilaksanakan lima tahun sekali. Karena Pilkada sebelumnya tahun 2017, semestinya Pilkada Aceh dilaksanakan pada tahun 2022.
Karena ada kepentingan politik Pemerintah Pusat, maka semua berubah, sehingga UUPA sebagai landasan kehidupan diterabas. Landasan hukum dibuat semakin tidak berarti, sementara elite politik dan pemerintahan diam seribu bahasa, tidak berkutik. Mereka dipeucakeung (dibuat bengong, red). Akibatnya, keistimewaan Aceh dengan lex specialist-nya, buyar, bubar, dan sirna sama sekali.
Ini semua merupakan strategi politik Pemerintah Pusat dalam usaha menghancur-leburkan Aceh dengan dasar hukum semu, dimana rakyat Aceh mendapatkan legitimasi hukum dalam seluruh dimensi kehidupannya, termasuk yang paling krusial adalah aturan UUPA sebagai lex specialist Aceh pasca konflik melalui Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005. Ternyata, ini hanya kamuflase dan tipu daya agar Aceh tidak terus memberontak menuntut kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang pernah memiliki peradaban dan lebih tua dari Indonesia.
Saat ini, mesti tunduk dan patuh kepada seluruh aturan perundang-undangan Pemerintah NKRI, baik UUD'45, dan aturan lainnya. Sehingga, pemahaman politik dari sejarah berulang, yaitu Ikrar Lamteh Jilid 2 berlaku kembali.
Pilkada Aceh yang tidak sesuai dengan UUPA bermakna "cacat hukum", ternyata tidak disadari oleh para elite politik, partai politik, juga partai politik lokal. Demi menjagokan dan ikut terlibat dalam kontestasi politik Pilkada Aceh 2024 berusaha untuk menang dengan berbagai cara, juga menghalalkan segala cara.
Demikian juga sejak dasar hukum dan legalitas undang-undang sudah dilanggar. Skenario politik Jakarta dimulai dengan penempatan PJ Gubernur sama setara seperti provinsi lain di Indonesia. Di sini, hukum benar-benar dikesampingkan. UUPA dimasukkan ke dalam tong sampah.
Saat itu para oligarki, antek serta mafia politik bermain, termasuk mafia anggaran. Karena, sejak masa penjajahan dahulu hingga sekarang "uang" menjadi persoalan mendasar bagi elite politik Aceh dan pemerintahan. Sehingga, karena terjadi ketergantungan pada Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA), mereka sangat mudah dipermainkan.
Rumus dan semua aturan ditentukan Pemerintah Pusat. Karena itu, semua demi uang, materi dan ketergantungan kepada pusat, sehingga Aceh berada pada neo-colonialisme yang berkelanjutan dan berkepanjangan. Agar terlihat hebat sebagai orang individu untuk menduduki jabatan atau kursi kekuasaan politik, maka pada kesempatan kontestasi Pilkada Aceh, mereka berusaha untuk menang.
Hal ini dimulai dengan penempatan serta menguasai pelaksana, penyelenggara Pilkada, pengawas, petugas, partai politik lainnya dan rakyat yang akan kelabui dengan berbagai janji politik.
Demi jabatan dan kekuasaan politik, mereka menghalalkan segala cara untuk menang. Pada akhirnya setelah mendapatkan kekuasaan dan kursi jabatan, mereka akan mementingkan diri sendiri, kelompok, partai, dan kroninya.
Rakyat tetap dihimpit kesulitan hidup tanpa upaya yang jelas pemerintah untuk mengangkat mereka dari jurang kemiskinan, misalnya dengan menghadirkan investasi yang membuka lapangan kerja.
Karena ambisi berkuasa, kecurangan, keculasan, kelicikan adalah cara yang dipilih untuk meraih kemenangan Pilkada. Itu memang sudah dirancang sejak awal oleh elite politik dan kekuasaan di tengah rusak dan buruknya demokrasi politik yang diciptakan secara sengaja oleh elite politik dan kekuasaan, baik di Pemerintahan Pusat maupun Aceh sendiri.
Maka pertanyaan besarnya adalah masih percayakah kita kepada elite politik yang bertarung dalam Pilkada? Tidak ada kepentingan politik untuk rakyat, tidak ada urusan kepentingan politik untuk Aceh. Yang ada kepentingan elite, kursi, kekuasaan, yang mesti diraih dengan menghalalkan segala cara untuk menang.
Tidak ada komentar