Untuk apa Aceh menolak Pengungsi Muslim Rohingya?
![]() |
(Foto: unhcr.org) |
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Kalimat "bumi milik Allah" seharusnya mengingatkan kita semua bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk mengulurkan tangan kepada sesama hamba-Nya yang terzalimi.
Aceh, provinsi di Indonesia yang dikenal sebagai daerah dengan mayoritas Muslim, belakangan ini menghadapi dilema dalam merespons kedatangan pengungsi Muslim Rohingya.
Meskipun secara umum, banyak yang berharap Aceh akan memberikan perlindungan kepada saudara-saudara seiman yang terzalimi, penolakan terhadap pengungsi ini menjadi sorotan dan menimbulkan berbagai pertanyaan.
Mengapa hal ini terjadi? Apakah benar bahwa pengungsi Rohingya bukan Muslim seperti yang dinarasikan oleh penolaknya? Dan apakah ada tujuan politik di balik penolakan ini?
Pertama-tama, penting untuk memahami latar belakang pengungsi Rohingya. Mereka adalah komunitas Muslim yang berasal dari Rakhine State di Myanmar yang telah mengalami penindasan sistematis dan kekerasan oleh pemerintah Myanmar dan kelompok ekstremis.
Penindasan ini telah mendorong banyak dari mereka untuk melarikan diri dan mencari tempat yang lebih aman, termasuk ke Indonesia. Secara substansial, mereka adalah saudara seiman, yang seharusnya mendapatkan dukungan dari komunitas Muslim di negara muslim seperti Indonesia.
Namun, penolakan di Aceh sering kali didasarkan pada ketakutan akan dampak sosial dan ekonomi dari kedatangan pengungsi. Aceh sendiri memiliki tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan, termasuk pengangguran dan kurangnya infrastruktur.
Ada pandangan bahwa kehadiran pengungsi Rohingya akan menambah beban kepada pemerintah dan masyarakat lokal yang sudah berada dalam situasi yang sulit.
Dalam beberapa kasus, ada juga anggapan bahwa keberadaan pengungsi dapat memperburuk ketegangan sosial yang ada, dan menciptakan ketidakstabilan di Aceh, sebagai daerah yang pernah mengalami konflik bersenjata bahkan sampai tiga dasawarsa dengan pemerintah Jakarta.
Selain itu, isu identitas juga menjadi faktor kunci. Meskipun Rohingya adalah Muslim, hidup mereka sering kali dipandang dari perspektif kesukuan dan nasionalitas, karena mereka terasing di Myanmar, yang menganggap mereka bukan warga negara.
Ini menciptakan persepsi di kalangan sebagian masyarakat Aceh bahwa pengungsi Rohingya adalah kelompok yang terpisah, bukan bagian dari komunitas Muslim global. Dengan demikian, pandangan ini mempertahankan narasi bahwa mereka bukan Muslim sejati atau tidak layak untuk dianggap penerima bantuan yang setara.
Adapun mengenai tujuan politik, bisa jadi ada kepentingan tertentu di balik penolakan ini. Beberapa pihak mungkin menggunakan isu pengungsi untuk memperkuat posisi politik mereka, mengklaim bahwa mereka melindungi kepentingan masyarakat lokal.
Kalimat "bumi milik Allah" seharusnya mengingatkan kita semua bahwa kita memiliki tanggung jawab moral untuk mengulurkan tangan kepada sesama hamba-Nya yang terzalimi. Namun, terkadang kepentingan politik dan ekonomi mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Penolakan Aceh terhadap pengungsi Rohingya mencerminkan kompleksitas sosial, ekonomi, dan politik yang ada. Memang benar bahwa dalam situasi yang sulit, tidak mudah untuk menerima pengungsi baru. Namun, sebagai komunitas Muslim, Aceh seharusnya mempertimbangkan kembali langkah-langkah ini dan menggali empati serta solidaritas terhadap sesama Muslim yang tengah menghadapi derita.
Dengan memahami konteks ini, diharapkan masyarakat Aceh bisa menemukan cara untuk memberikan dukungan tanpa mengorbankan kesejahteraan lokal.
Tidak ada komentar