Mahfud MD: Netralitas Aparat Lebih Penting Dibanding Pilkada Dipilih DPRD

Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P. (Foto: Antara).
Mantan Menko Polhukam ini menekankan bahwa masalah pilkada lebih terletak pada pelaksanaan di lapangan, bukan pada sistem pemilihan langsung atau tidak langsung.

Jakarta - Pakar hukum tata negara Mahfud MD menegaskan netralitas aparat penegak hukum dan birokrasi jauh lebih penting dalam memastikan kualitas pemilu dibandingkan perubahan sistem pilkada menjadi pemilihan melalui DPRD.

Pernyataan ini merespons gagasan Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD, menggantikan sistem pilkada langsung.

"Kalau kita mau mengevaluasi sebenarnya menurut saya tidak pada soal langsung atau tidak langsung, itu pada soal pelaksanaan di lapangan, netralitas aparat penegak hukum dan netralitas birokrasi, itu yang penting," ujar Mahfud MD dalam podcast Terus Terang Mahfud MD di kanal YouTube resminya, dikutip pada Sabtu, 21 Desember 2024.

Mahfud, yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menuturkan bahwa petahana sering memanfaatkan bantuan sosial (bansos) dan program pemerintah untuk meraih simpati masyarakat.

Praktik ini, katanya, sering kali dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana, bukan hukum tata negara, sehingga pelaku akhirnya diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau kepolisian.

"Karena penyalahgunaan ini tidak bisa secara langsung membuktikan pilihan orang dalam bilik suara, maka pemilihannya tetap sah. Tapi pelakunya diserahkan ke KPK dan ke polisi, dan itu yang banyak dipenjara kemudian," tambah Mahfud.

Ia juga mengingatkan pentingnya evaluasi netralitas birokrasi, terutama karena banyak aparat di daerah yang cenderung berpihak kepada partai politik tertentu yang kuat di wilayahnya. Perbaikan harus dimulai dari pimpinan institusi, termasuk presiden.

"Kalau presiden sudah mendengar suara rakyat, pak di sana ada begitu, bilang saja ke Kapolri, tuh Kapolri selidiki di sana, selesaikan," tegasnya.

Menurutnya pilkada langsung saat ini perlu dievaluasi karena dianggap terlalu mahal dan penuh praktik kotor. Ia pun sependapat dengan mayoritas pengamat bahwa keputusan untuk kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD harus melalui kajian mendalam.

"Pilkada itu berjalan sangat mahal, sangat mahal dan jorok juga. Biayanya mahal, lalu permainannya kotor, kadangkala tidak pakai etika, rasa malu, rasa takut. Ini perlu dievaluasi, apakah kesimpulannya harus kembali ke pemilihan lewat DPRD atau tidak, itu nanti hasil evaluasi yang akan menentukan," jelasnya.

Sejalan dengan Presiden Prabowo yang menyatakan pilkada langsung memakan biaya tinggi. Pemilihan gubernur, lanjutnya, membutuhkan biaya minimal Rp100 miliar hingga Rp1 triliun. Situasi serupa pun juga terjadi dalam pemilihan bupati atau wali kota.

Merujuk pada data KPK, Mahfud menyebut 84 persen kepala daerah dalam Pilkada 2020 dibiayai oleh "cukong-cukong" yang mendukung mereka. Hanya sekitar 10 kepala daerah saja yang benar-benar bersih dari praktik tersebut.

"Joroknya itu, kecurangan di mana-mana, perpecahan di tengah masyarakat yang kadang kala pilkadanya sudah selesai, tapi perpecahannya sampai lima tahun berikutnya belum selesai lagi," pungkasnya.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.