Menghindari Kembalinya Praktik Politik Orde Baru

 


Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh

Untuk menjaga demokrasi, perlu reformasi pemilu yang mengefisienkan biaya politik serta memanfaatkan teknologi. Tak lain agar pemilu tetap adil dan transparan.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Namun, selama beberapa dekade terakhir, pemilu sering kali diwarnai oleh berbagai masalah, termasuk politik biaya tinggi, praktik korupsi, dan manipulasi. 

Kembalinya pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ke gaya rezim orde baru dapat mengancam keberlanjutan demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini. 

Diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki sistem kepartaian dan menghilangkan praktik tidak sehat dalam politik, agar pemilu dapat berlangsung adil dan berintegritas.

Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam pemilihan umum adalah biaya kampanye yang semakin membengkak. Calon pemimpin sering kali terpaksa mengeluarkan dana yang besar untuk menyediakan spanduk, baliho, dan berbagai bentuk iklan lainnya, sehingga hanya mereka yang memiliki sumber daya lebih yang dapat bersaing. 

Ini menyebabkan terjadinya ketidakadilan, mengasingkan kandidat yang memiliki kapabilitas tetapi tidak mampu secara finansial. 

Dengan menyederhanakan proses kampanye, seperti meminimalisir penggunaan media cetak dan memaksimalkan media sosial serta platform online, kita dapat menciptakan arena yang lebih adil bagi semua calon.

Mengadopsi sistem pemilihan dengan menggunakan teknologi seperti pemilihan secara online dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini. 

Dengan sistem voting online yang lebih mudah diakses dan transparan, kehadiran kertas suara dan kotak suara, serta petugas yang banyak, bisa dihilangkan. 

Hal ini tidak hanya mengurangi biaya tetapi juga mempermudah masyarakat dalam menentukan pilihan mereka. 

Penggunaan teknologi informasi dalam pemilihan umum dapat meminimalisir risiko kecurangan dan memberikan hasil yang lebih cepat dan akurat.

Lebih jauh, pengurangan jumlah instansi yang terlibat dalam proses pemilihan juga penting. Keberadaan panitia pengawas, PPK, dan aparat keamanan BKO yang berlebihan sering kali menjadi beban. 

Dalam banyak kasus, mereka berpotensi menjadi alat politik untuk menekan lawan ataupun memanipulasi hasil pemilu. 

Oleh karena itu, dengan sistem yang lebih sederhana dan terfokus, kita dapat mengurangi potensi penyimpangan tersebut, sekaligus meningkatkan efektivitas pengawasan pemilu.

Masyarakat tentunya perlu terus didorong untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Edukasi politik yang baik harus diberikan kepada masyarakat untuk memahami arti dan tujuan pemilu dalam sistem demokrasi. 

Dengan teknologi yang semakin berkembang, informasi bisa disebarluaskan dengan cepat dan tepat sasaran, sehingga pemilih menjadi lebih pintar dalam memilih calon pemimpin mereka.

Namun, penting untuk diingat bahwa perubahan sistem ini harus disertai dengan regulasi yang ketat serta pengawasan yang transparan agar tidak terjadi penyalahgunaan teknologi. 

Keberhasilan sistem baru ini akan bergantung kepada komitmen semua pihak untuk menjaga keadilan dan integritas dalam pemilu.

Guna menghindari bahaya kembalinya ke zaman Soeharto, kita perlu memperbaiki sistem kepartaian yang ada, mengendalikan biaya politik, dan memanfaatkan teknologi modern. 

Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa pemilu di Indonesia mencerminkan kehendak rakyat secara adil, transparan, dan demokratis.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.