Money Politik di Aceh: Antara Sedekah dan Manipulasi

Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh

Apakah ini wujud kebaikan, atau justru ancaman bagi integritas demokrasi kita?

Keterlibatan uang dalam politik bukanlah hal baru di Indonesia, dan salah satu manifestasinya terlihat jelas dalam konteks pemilihan umum, termasuk di Aceh. 

Sebuah amplop besar berisi uang dari kandidat gubernur Aceh yang mencuat ke publik menjelang Pilkada Aceh, memicu perdebatan tentang praktik money politik atau politik uang. 

Banyak yang bahkan berani menyebutnya sebagai sedekah. Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah, jika ini memang sedekah, mengapa harus diviralkan di media sosial.

Sedekah, menurut prinsipnya, adalah tindakan yang dilakukan dengan tulus, tanpa mengharapkan imbalan atau pengakuan. Tangan kanan yang memberi seharusnya tidak diketahui oleh tangan kiri, menggambarkan tindakan altruistik yang seharusnya tidak perlu dipublikasikan. 

Namun, ketika amplop berisi uang yang secara jelas memiliki konotasi politik beredar, dan penerimanya adalah ulama atau tokoh masyarakat, ini menimbulkan banyak tanda tanya. Apakah tindakan ini tulus ataukah semata-mata upaya untuk meningkatkan elektabilitas kandidat?

Keterlibatan ulama dalam politik di Aceh menjadi semakin kompleks ketika mereka digunakan oleh aktor politik untuk memanipulasi massa. Ulama yang seharusnya berfungsi sebagai panutan moral sering kali terjebak dalam permainan politik yang lebih besar. 

Ketika seorang kandidat memberikan uang kepada ulama, seolah-olah tindakan tersebut menunjukkan kepedulian mereka terhadap masyarakat. Namun pada kenyataannya, ini lebih merupakan strategi untuk meraih simpati dan suara dari para pengikut ulama yang bersangkutan.

Para pembaca yang hidup di zaman Orde Baru, ketika Soeharto berkuasa, tentu ingat bagaimana cara-cara ini sudah menjadi bagian dari kultur politik di Indonesia. 

Amplop berisi uang sering kali beredar pada saat menjelang pemilihan umum sebagai insentif untuk mengarahkan pilihan wakil rakyat.

Apabila proposal Presiden Prabowo untuk melaksanakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota melalui DPRD terealisasi, praktik-praktik seperti ini berpotensi semakin marak. 

Ini menciptakan sebuah siklus di mana uang menjadi kekuatan dominan dalam menentukan siapa yang akan memimpin, bukan kualitas calon atau program yang diusung.

Situasi ini menunjukkan bahwa money politik bukan hanya sekadar masalah moralitas. Ia merembes ke dalam struktur politik dan sosial yang lebih dalam, di mana kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi menjadi semakin rapuh. 

Masyarakat perlu lebih kritis dan cerdas dalam menilai setiap tindakan yang terlihat menguntungkan, apalagi jika itu melibatkan uang. 

Penerimaan amplop itu seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi manfaat instan, tetapi juga bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi keputusan politik yang lebih luas di masa depan.

Fenomena politik uang di Aceh, dengan karakteristiknya yang unik, mengingatkan kita bahwa integritas dan kejujuran seharusnya menjadi pilar utama dalam setiap praktik politik. 

Sedekah yang dibicarakan publik bukanlah implementasi dari nilai-nilai keagamaan yang seharusnya menjunjung tinggi moralitas, tetapi lebih sebagai alat manipulasi yang bisa merugikan masyarakat. 

Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk terus meneropong dan mengawal dinamika politik tersebut agar hak masyarakat dalam memilih pemimpin tidak terenggut oleh praktik-praktik yang tidak etis.[]


Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.