Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota: Antara Stabilitas Politik dan Kedaulatan Rakyat




Oleh Hamdan Budiman

Opini Koran Aceh


Dalam beberapa waktu terakhir, usulan Presiden Prabowo untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menimbulkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan kalangan politik. 


Menurutnya, pemilihan langsung yang saat ini diterapkan terbukti berbiaya tinggi dan dapat menciptakan ketidakstabilan sosial politik. 


Ia mengemukakan bahwa negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura telah menunjukan pertumbuhan ekonomi yang signifikan berkat kestabilan politik yang mereka miliki. 


Padahal menerapkan sistem pemerintahan parlementer yang tak bisa dipersamakan dengan Indonesia yang menganut presidensial dalam pemerintahan.


Di satu sisi, argumen terkait biaya pemilihan langsung memang tidak bisa diabaikan. Proses pemilihan kepala daerah yang melibatkan masyarakat secara langsung memang memerlukan anggaran yang tidak sedikit, mulai dari kampanye, logistik pemungutan suara, hingga proses penghitungan suara. 


Hal ini bisa menjadi beban tambahan bagi anggaran daerah yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program pembangunan lain. 


Namun, mengganti sistem pemilihan ini dengan memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah juga memiliki tantangan tersendiri. Yang sudah dicoba selama 32 tahun saat Soeharto berkuasa.


Penting untuk memahami bahwa pemilihan kepala daerah merupakan sarana bagi rakyat untuk mengekspresikan suara mereka dan berpartisipasi dalam demokrasi. 


Penukaran sistem pemilihan ini dapat menimbulkan kekhawatiran yang lebih besar mengenai hilangnya kedaulatan rakyat. Ada risiko bahwa kembalinya pemilihan melalui DPRD bisa menguntungkan elit politik dan partai tertentu, sementara suara rakyat menjadi terpinggirkan. 


Ini bisa dianggap sebagai kemunduran sekaligus pengembalian ke era Orde Baru, di mana kekuasaan terpusat pada segelintir orang dan kedaulatan rakyat tidak dihargai.


Secara historis, Indonesia memiliki pengalaman pahit dengan sentralisasi kekuasaan yang menyebabkan kepentingan publik sering diabaikan. 


Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan bisa saja meningkat jika mereka merasa bahwa pemimpin yang terpilih tidak mencerminkan keinginan dan kebutuhan mereka. 


Oleh sebab itu, setiap upaya untuk mereformasi sistem pemilihan perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap partisipasi masyarakat dan semangat demokrasi yang telah dibangun selama ini.


Malaysia dan Singapura, yang dicontohkan oleh Presiden Prabowo, memang menunjukkan kestabilan politik yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang baik. Namun, perlu dicatat bahwa konteks politik dan sosial di kedua negara tersebut berbeda dengan Indonesia. 


Malaysia dan Singapura memiliki latar belakang politik yang berbeda dan mekanisme pengelolaan konflik sosial yang lebih efektif. 


Stabilitas politik yang mereka nikmati tidak dapat dijadikan alasan mutlak untuk mengubah sistem pemilihan di Indonesia tanpa mempertimbangkan aspirasi dan suara rakyat.


Usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD harus dipertimbangkan secara mendalam. 


Meskipun terdapat alasan-alasan yang logis terkait biaya dan kestabilan, penting untuk tidak melupakan esensi dari kedaulatan rakyat itu sendiri. 


Sebuah negara demokratis harus menjunjung tinggi suara rakyat dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dapat mencerminkan kepentingan dan harapan masyarakat secara luas. 


Reformasi sistem pemilihan, jika diperlukan, harus dilakukan dengan tetap menghormati nilai-nilai demokrasi dan partisipasi publik.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.