Peringatan Dua Puluh Tahun Tsunami Aceh: Refleksi atas Sejarah dan Masa Depan

Hamdan Budiman,
Pemred Koran Aceh

Dua puluh tahun setelah tsunami 2004, bayang-bayang bencana itu tetap menjadi pengingat akan ketangguhan Aceh. Namun, perjuangan belum usai. Di tengah sejarah panjang tragedi, Aceh harus berjuang melampaui pemulihan fisik menuju pembangunan sosial-politik yang adil dan transparan, demi masa depan yang lebih cerah.

koranaceh.net | Tanggal 26 Desember 2004 menjadi titik kelam dalam sejarah masyarakat Aceh. Tsunami yang melanda tidak hanya menimbulkan gelombang kematian dan kerusakan yang luar biasa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam di hati setiap individu, bukan hanya di Aceh tetapi juga di seluruh dunia. 

Dua puluh tahun berlalu, namun bayang-bayang bencana itu tetap ada, memperingatkan kita akan fragilitas kehidupan dan kekuatan alam yang kadang tidak dapat ditahan.

Kematian dan kerusakan akibat tsunami ini adalah lambang dari rentetan tragedi yang telah dialami Aceh sepanjang sejarah. 

Sejak masa penjajahan Belanda, Aceh dikenal dengan konflik dan ketidakpastian. 

Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan sejumlah insiden memilukan lainnya, menunjukkan betapa komunitas ini telah berjuang untuk bertahan hidup di tengah berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam negeri. 

Perang yang berlangsung hingga era 2000-an, termasuk konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, telah merenggut ratusan ribu nyawa.

Tsunami Aceh seolah menjadi refleksi terakhir dari rentetan penderitaan yang telah berkepanjangan. Meski merupakan bencana alam, tsunami ini menambah daftar duka yang dialami rakyat Aceh. 

Bagaimana tidak? Dalam sekejap, rumah, harta, dan nyawa melayang dalam gelombang yang tak terduga. Trauma yang dihasilkan bukan hanya di tingkatan individu tetapi juga masyarakat yang harus berjuang untuk memulai kembali kehidupan setelah kehilangan. 

Sebuah pelajaran penting bahwa bencana, baik akibat alam maupun akibat konflik, selalu menyisakan pertanyaan mendalam tentang keberlanjutan dan harapan.

Namun, mengakhiri konflik dengan tsunami, bukankah kita seharusnya melihat masa depan dengan lebih optimis? 

Realitasnya, Aceh kini memasuki babak baru, dihadapkan pada tantangan modern seperti pandemi COVID-19 yang datang dari luar negeri. 

Era pemerintahan Jokowi yang diwarnai dengan janji-janji pembangunan dan utang yang terus menumpuk, seolah mengundang keraguan. 

Apakah rakyat Aceh benar-benar mendapatkan kesejahteraan dalam era ini, ataukah semua itu hanya retorika yang mengulangi siklus yang sama?

Perlu diingat, kesejahteraan rakyat bukan hanya sekadar jargon politik, tetapi sebuah kenyataan yang harus diimplementasikan dengan serius. 

Hari ini dua puluh tahun sudah bencana terbesar abad ini, Tsunami Aceh, 26 Desember 2024. Besarnya Jumlah kematian dan kerusakan bangunan yang terjadi dalam sekelebat pagi Minggu itu telah membuat trauma mendalam tidak hanya bagi masyarakat Aceh, tetapi dunia.

Bagi Aceh, sebenarnya tragedi kematian yang ramai dalam sekelebat sudah menjadi informasi yang lumrah, sejak zaman perang dengan Belanda. 

Katakanlah pada minggu pertama pemberlakuan darurat militer di Aceh tahun 2003 itu, penguasa darurat militer merilis ribuan orang yang diidentifikasi sebagai anggota atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka telah dilumpuhkan atau ditembak mati.

Kematian demi kematian akibat sebuah tragedi memang sudah menjadi catatan sejarah bagi Aceh, sejak Belanda menyatakan perang terhadap negara Aceh pada 26 Maret 1873, lalu ada pembantaian di Cumbok atau dikenal dengan perang cumbok, kemudian perang Daud Beureueh atau DI TII yang diawali tahun sembilan belas lima puluhan. 

Lalu Aceh Merdeka atau AM mulai tahun 1976. Ada ratusan ribu kematian dan puluhan ribu lainnya tidak diketahui dimana pusaranya.

Aceh telah melalui beberapa zaman nestapa, zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia, meskipun yang terakhir tidak disebutkan penjajahan, tapi angka kematian akibat perang DI TII dan GAM melebihi penjajah Belanda dan Jepang yang bisa dicatat.

Mengakiri Masa Konflik dengan Tsunami, lalu datang Wabah dari China, yakni corona. Era jokowi yang dikenali dengan banyak utang dan janji-janji palsu, kini apakah kita berada di era omon-omon; kedaulatan rakyat kembali diwakilkan dan para koruptor mendapat sertifikat halal asal diam-diam mengembalikan hasil jarahannya.

Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi ancaman bagi pembangunan yang berkelanjutan. 

Sehingga, meskipun telah dua puluh tahun berlalu sejak bencana besar itu, Aceh masih perlu berjuang, tidak hanya untuk pemulihan fisik, tetapi juga pemulihan ikon sosial-politik.

Dalam menperingati dua puluh tahun tsunami Aceh, mari kita tidak hanya mengenang kesedihan tetapi juga menyalakan cahaya harapan. 

Aceh telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa, dan sudah saatnya untuk membangun kembali dengan semangat kebersamaan, memperkuat lembaga pemerintah yang bersih, serta Komitmen untuk masa depan yang lebih baik. 

Dengan mempelajari sejarah dan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, Aceh dapat bangkit dan menunjukkan bahwa meskipun tak bisa mengendalikan laju angin, kita bisa mengarahkan arah kapal menuju masa depan yang lebih cerah.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.