UMP 2025: Formulasi Abu-Abu 6,5 Persen
Daftar Isi
| Ilustrasi. (Dok. Ist). |
Di balik angka 6,5 persen, buruh dan pengusaha menunggu kejelasan metode atau rumus perhitungannya.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Menteri Ketenagakerjaan
(Menaker) Yassierli meminta Pemerintah Daerah (Pemda) segera menyelesaikan
sosialisasi dan regulasi turunan dari penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP),
kabupaten/kota dan Upah Minimum Sektoral (UMS) sebelum libur Natal 25
Desember mendatang.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), kata Yassierli, akan segera
merampungkan aturan teknis soal kenaikan rata-rata UMP 2025 sebesar 6,5
persen paling lambat tanggal 4 Desember 2024. Aturan ini nantinya akan
mengatur ketentuan mengenai Upah Minimum Sektoral (UMS) hasil dari
kesepakatan Dewan Pengupahan Daerah (DPD) di tingkat provinsi, kota dan
kabupaten.
Di tempat yang sama, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengatakan
besaran kenaikan UMP 2025 sudah mempertimbangkan kondisi dunia usaha dan
kebutuhan masyarakat. Menurutnya, upah minimum adalah jaring pengaman sosial
yang sangat penting guna memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja. "Untuk itu,
penetapan UMP bertujuan meningkatkan daya beli pekerja dengan tetap
memperhatikan daya saing usaha," ucapnya.
***
Penetapan UMP 2025 berawal dari amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
mengabulkan sebagian gugatan buruh terhadap UU No.6/2023 tentang Cipta
Kerja, Sabtu (30/11/2024) lalu. Kala itu, serikat buruh dan pekerja yang terdiri dari Partai Buruh;
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI); Konfederasi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI); Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia
(KPBI); Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang
perseorangan atas nama Mamun serta Ade Triwanto yang berprofesi sebagai
buruh mengajukan uji materiil UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja dengan nomor
perkara 168/PUU-XXI/2023.
Sebagian gugatan buruh pun dikabulkan MK. Dalam amar putusan bernomor
168/PUU-XXI/2024, mahkamah meminta pembentuk undang-undang agar segera
membuat UU Ketenagakerjaan yang baru. MK juga menyatakan kluster
ketenagakerjaan dan pengupahan dikeluarkan dari UU No.6/2023 Ciptaker.
Pertimbangan hukum dalam putusan MK saat itu dibacakan oleh Hakim Konstitusi
Enny Nurbaningsih.
“Dengan undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman
ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-Undang
Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” ucap
Enny yang dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi.
Enny menambahkan, “Selain itu, sejumlah materi/substansi peraturan
perundang-undangan yang secara hierarki di bawah undang-undang, termasuk
dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam
undang-undang ketenagakerjaan.”
![]() |
| Ketua MK Suhartoyo (tengah) didampingi enam anggota Majelis Hakim MK saat sidang putusan uji materi UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja di Gedung MK, Jakarta, Kamis (31/11/2024). (Foto: ANTARA/Aprillio Akbar). |
Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.168/PUU-XXII/2024 atas uji
materi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait Ketenagakerjaan. Variabel
perhitungan kenaikan upah minimum tahun 2025 tetap sama dengan variabel
perhitungan tahun 2024 yang tertuang dalam PP No.51/2023 tentang Pengupahan.
Variabel tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi dan 'indeks tertentu'
atau yang disebut alpha.
Angka 'indeks tertentu' atau alpha adalah nilai yang menentukan
nominal UMP. Melansir dari berbagai sumber, nilai alpha merupakan indeks
kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Nilai alpha ditentukan Dewan Pengupahan Provinsi atau kabupaten/kota
dan berada dalam rentang 0,10-0,30. Angka 0,1 artinya tenaga kerja
berkontribusi 10 persen dari pertumbuhan ekonomi, dan jika angka 0,30
berarti tenaga kerja berkontribusi terhadap 30 persen pertumbuhan ekonomi
daerah. Adapun, penentuan nilai ini dilakukan dengan menimbang tingkat
penyerapan tenaga kerja dan rata-rata upah di suatu wilayah.
Dalam putusannya, MK menyatakan frasa ‘indeks tertentu’ di Pasal 88D Ayat (2) dan Pasal 81 Angka 28 Lampiran UU No.6/2023
bertentangan dengan UUD 1945. Majelis hakim menilai komponen ‘indeks
tertentu’ dalam UU tersebut tidak memiliki penjelasan rinci dan perlu diberi
pemaknaan. Makna dalam frasa itu kemudian diperluas MK.
Setelah MK memutus pemaknaan yang lebih jelas dan rinci, pengertian ‘indeks
tertentu’ atau alpha berubah menjadi "Variabel yang mewakili
kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh
serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL)
bagi pekerja/buruh."
Dengan perluasan makna ini, maka unsur kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja
yang sebelumnya tidak ada kini harus masuk ke dalam formula penghitungan
upah pada tahun-tahun berikutnya. Putusan MK ini juga mengakibatkan
hilangnya landasan hukum formulasi perhitungan upah minimum yang tertuang
dalam PP No.51/2023 tentang Pengupahan. Peraturan pemerintah inilah yang
sebelumnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan UMP dan UMK.
Hilangnya landasan hukum tersebut membuat PP No.51/2023 tentang Pengupahan
kini tak lagi berlaku. Alhasil, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
pun harus mempercepat keluarnya peraturan baru tentang ketenagakerjaan dan
pengupahan sebagai landasan hukum upah minimum sebelum akhir tahun
2024.
Metode Perhitungan Yang Masih Abu-Abu
Pemerintah hingga saat ini belum memberikan informasi ihwal metode atau
rumus dalam penetapan UMP 2025. Tidak adanya kejelasan mengenai rumus ini
juga dipersoalkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani, mengatakan pemerintah perlu
memaparkan bagaimana metodologi yang digunakan dalam menghitung penetapan
UMP 2025. Hal ini, menurutnya, diperlukan agar kebijakan yang diambil
mampu menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan usaha dan
kesejahteraan pekerja.
"Hingga saat ini, belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi
penghitungan kenaikan ini. Apakah telah memperhitungkan variabel
produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi
aktual," ujar Shinta yang dilansir dari Antara.
![]() |
| Presiden Prabowo Subianto (tengah), didampingi para menteri-menterinya ketika mengumumkan penetapan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta. (Foto: Sekretariat Presiden). |
Dengan kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan
tekanan domestik, ia menambahkan, kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya
produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar domestik maupun
internasional. “Ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru," kata
Shinta.
Senada, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam, mengatakan pengusaha
masih menunggu penjelasan dari pemerintah terhadap penetapan kenaikan UMP
tersebut. “Tidak tahu apa landasan pemerintah menetapkan 6,5 persen,”
ucapnya yang dikutip dari Tempo.
Ia mengatakan belum mendapat gambaran skema penghitungan upah ditetapkan
dan bagaimana dunia usaha melakukan kalkulasi kenaikan biaya tenaga kerja
dan menghitung biaya untuk memastikan keberlanjutan usaha. Bob Azam
juga menanyakan perihal perusahaan yang tak mampu mengakomodasi kenaikan
tersebut serta bagaimana kesenjangan upah antar daerah nantinya.
“Bagaimana upah ditetapkan ke depannya dan bagaimana dunia usaha
mengkalkulasi kenaikan biaya tenaga kerja, juga biaya-biaya untuk kepastian
usaha ke depan,” jelas Bob Azam.
Oleh sebab itu, menurut Bob, pemerintah perlu memperhatikan dan memperhitungkan dampak kenaikan upah terhadap daya saing perusahaan, terutama di tengah tantangan ekonomi global dan meningkatnya biaya produksi.

Di tempat terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN)
Ristadi, juga penasaran dan merasa janggal dengan rumus penetapan UMP 2025
sehingga angka 6,5 persen itu muncul. “Saya agak kaget yang diumumkan
angkanya duluan, bukan formulasi atau rumus kenaikan upah,” kata dia dalam
keterangan resminya, Minggu (1/12/2024).
Ristadi menyebut rumus ini sangat penting agar dapat mengerek upah
pekerja daerah. “Jangan-jangan nanti formulasinya dicocok-cocokkan agar
hasilnya 6,5 persen. Jika benar demikian, maka itu akan mengunci Dewan
Pengupahan. Mereka jadi tidak berfungsi,” jelasnya.
Ia berujar, diumumkannya kenaikan angka 6,5 persen tapi tidak dengan
metode atau rumusnya akan mengakibatkan daerah yang upah minimumnya masih
rendah jadi semakin jauh tertinggal. Sebagai contoh, kata Ristadi, upah minimum di Karawang yang berada dikisaran Rp 5 juta perbulan. Jika
kenaikannya 6,5 persen, maka UMP di daerah itu naik Rp 325 ribu. Sementara
UMP di Yogyakarta yang berkisar Rp 2 jutaan, hanya naik sekitar Rp 130
ribu.
“Ini akan menyebabkan ketimpangan pendapatan pekerja yang sangat jauh dan ketidakmerataan dalam menikmati hasil pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dampak lainnya pengusaha akan berpindah-pindah mencari upah yang lebih rendah,” terang Ristadi.
6,5 Persen Itu Jauh Dari Cukup
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economi and Law Studies
(Celios) Bhima Yudistira Adhinegara, menilai kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5
persen jauh dari kata ideal. “Kenaikan 6,5 persen masih terlalu rendah
untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Jauh dari cukup,” ucapnya yang
dikutip dari Bloomberg Technoz.
Di tambah lagi, kata dia, beban yang diberikan pemerintah seperti
kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen
mulai Januari 2025. Kemudian beban kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tabungan
Perumahan Rakyat, hingga asuransi wajib kendaraan. Secara spesifik, PPN 12
persen disertai inflasi barang jasa bisa menambah pengeluaran pekerja
sebesar Rp 357 ribu perbulannya.
“Uangnya akan langsung memutar ekonomi. Pak Prabowo juga belum menuangkan
dalam aturan pemerintah. Jadi, masih ada waktu merevisi lagi”,
jelasnya.
![]() |
| Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, memberikan pemaparan saat acara Diskusi Pakar Ekonomi Makro & Global di Jakarta, Rabu (26/7/2023). (Foto: Dok. Celios). |
Dalam analisis dan perhitungan yang dilakukan Celios, ungkap Bhima,
idealnya UMP naik di kisaran 8,7-10 persen sehingga bisa mendorong Produk
Domestik Bruto (PDB) hingga Rp106,3 triliun-Rp122 triliun. Dengan begitu,
daya beli buruh pun akan menguat.
Ihwal formulasi kenaikan upah tersebut, ia meminta pemerintah transparan.
Pasalnya, dengan formula lama sebagaimana di atur dalam PP No.78/2018
saja, kenaikan UMP tahun depan seharusnya berada di angka 6,79 persen.
Angka ini didapatkan dari pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi atau 4,95
persen pertumbuhan pada kuartal III 2024 dan ditambah inflasi akhir di
kuartal III yang sebesar 1,84 persen.
“Setelah Undang-Undang Cipta Kerja dibatalkan Mahkamah Konstitusi,
formula upah minimum kok jadi lebih kecil dari aturan sebelumnya?” pungkas
Bhima.
❖


