Ironi Politik: Jokowi dan Korupsi di Indonesia

 

Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh

Harapan besar rakyat berakhir ironi; korupsi bukan sekadar isu individu, tetapi cerminan kegagalan sistem yang menuntut aksi nyata, bukan retorika.

koranaceh.net | Di tengah dinamika politik Indonesia yang terus berubah, berita mengenai Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dinyatakan sebagai presiden terkorup kedua di dunia setelah Bashar al-Assad dari Suriah menimbulkan banyak perdebatan. 

Dinobatkan sebagai Pemimpin paling korup versi lembaga nonpemerintah Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) setelah mereka melakukan penelitian kepemimpinan Jokowi secara komprehensif.

Situasi ini menjadi sebuah ironi yang mendalam bagi rakyat Indonesia, mengingat harapan besar yang diletakkan saat Jokowi pertama kali menjabat sebagai presiden.

Jokowi yang menjabat dua periode, dikenal dengan gaya kepemimpinan yang merakyat dan program-program pembangunan yang ambisius, awalnya dipuja sebagai sosok yang dapat membawa perubahan positif bagi Indonesia. 

Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai masalah korupsi muncul, dan masyarakat mulai meragukan integritasnya. 

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di lingkaran kekuasaan Jokowi turut memperburuk reputasinya. 

Ironisnya, saat ini, ‘reputasi’ terkorup Jokowi dibawah satu digit  dari Bashar al-Assad, seorang pemimpin yang dikenal dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi yang merajalela di negaranya.

Penting untuk dicatat bahwa, dalam konteks korupsi politik, problematik ini tidak hanya menyangkut individu, tetapi juga mencerminkan sistem yang ada. 

Dalam hal ini, pemerintah Prabowo , yang dibantu oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang juga merupakan anak kandung Jokowi, menghadapi tantangan besar dalam menunjukkan bahwa mereka dapat bersih dari tuduhan korupsi. 

Gibran, sebagai figur muda dalam politik, memiliki tanggung jawab yang tidak mudah dalam memperbaiki citra pemerintah di mata rakyat.

Masyarakat semakin skeptis terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintah. 

Mereka melihat bahwa meskipun terdapat berbagai inisiatif dan program, implementasinya sering kali tidak transparan dan meninggalkan ruang bagi praktik korupsi yang lebih besar. 

Kurangnya akuntabilitas ini dapat mengancam kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, melawan stigma korupsi memerlukan tindakan konkret dan bukan sekadar retorika politik.

Kondisi ini juga membuka ruang bagi oposisi, terutama yang dimotori PDIP untuk memperkuat argumen mereka. 

Partai Megawati yang merasa dikianati, bakal menjadikan Jokowi sebagai simbol dari ketidakberhasilan dalam menangani korupsi, mereka dapat menarik simpati publik yang mulai ilfeel dengan janji-janji yang tidak terpenuhi. 

Bagi rakyat Indonesia, harapan akan pemerintah yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab terasa sangat mendesak, terutama di tengah krisis ekonomi dan sosial yang melanda.

Di sisi lain, situasi ini seharusnya menjadi momentum bagi Prabowo dan timnya untuk berbenah. Jika tidak, ironi dari Jokowi dengan kekusaan yang korup justru akan membebani Prabowo-Gibran.

Melihat posisi mereka saat ini, tantangan bagi Prabowo  dan Gibran adalah bagaimana menunjukkan bahwa mereka bukan bagian dari Jokowi yang sekadar pewaris janji-janji, tetapi juga pelaksana yang dapat membuktikan integritas di tengah sorotan publik yang semakin tajam. 

Gelar sebagai presiden terkorup di dunia tentu bukanlah cap yang ingin disandang oleh Jokowi. 

Namun, ironi ini harus menjadi panggilan bagi pemerintah untuk introspeksi dan transformasi agar dapat memenuhi harapan rakyat dan menjaga maruah bangsa dalam kancah global.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.