Jejak Menuju Perdamaian: Kisah Dibalik Lahirnya MoU Helsinki

Pada Senin, 15 Agustus 2005, MoU Helsinki lahir. Kesepakatan damai yang menjadi katalis bagi sebuah langkah bersejarah. Mengakhiri konflik bersenjata selama tiga dekade di Bumi Serambi Mekkah.

koranaceh.net | Masyarakat tumpah ruah di kompleks Masjid Raya Baiturrahman, “Damai, damai, damai,” teriak mereka. Ribuan warga larut dalam kegembiraan meski masih dibungkus haru akibat musibah dahsyat setahun yang lalu.

Ada yang bertepuk tangan meriah, ada yang bersujud, ada juga yang menengadahkan tangan ke langit memanjatkan rasa syukur. “Allahu Akbar!”, takbir seketika menggema selepas penandatangan itu.

Masyarakat aceh sedang menyaksikan penandatanganan perjanjian damai melalui televisi di halaman Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. (Foto: Hotli Simanjuntak/digdata.ID).

Hari itu, konflik yang berlangsung selama tiga dekade di Bumi Serambi Mekkah akhirnya selesai.

***

Berlangsung selama tiga dekade (1976-2005), konflik ini menjadi salah satu babak terkelam dan paling hitam sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia. Rasa ketidakpuasan sosial dan ekonomi yang sudah mengendap selama bertahun-tahun terhadap Pemerintah Indonesia kala itu menjadi akar masalahnya.

Tidak hanya meninggalkan trauma bagi masyarakat Aceh, tetapi juga mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia paling buruk.  “Terutama antara tahun 1990-1998, adalah periode dengan catatan pelanggaran hak asasi paling buruk yang pernah terjadi dalam sejarah konflik Indonesia-Aceh,” tulis Ahmad Taufan Damanik dalam bukunya berjudul “Hasan Tiro: Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis” yang terbit pada 2010 silam.

Amnesty Internasional pada 2013 melaporkan korban tewas selama konflik ini berkisar antara 10.000 dan 30.000 jiwa. Angka ini mencakup baik anggota GAM maupun warga sipil.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam artikel “26 Tahun Pasca Pencabutan Status DOM Aceh, Keadilan bagi Korban Masih dalam Angan-angan” yang terbit pada 7 Agustus 2023, mengutip laporan Komnas HAM, menyebut dalam kurun waktu 1989-2003 ditemukan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Diantaranya yakni pembunuhan terhadap 472 orang, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap 172 orang, penyiksaan terhadap 229 orang, persekusi terhadap 599 orang, perkosaan terhadap 14 orang, dan penghilangan secara paksa terhadap 181 orang.

Sementara itu, laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR Aceh) pada Desember 2023 silam mengidentifikasi sebanyak 10.652 pelanggaran hak asasi manusia terjadi dalam rentang 1976-2005.

Kendati belum diketahui angka pasti korban jiwa dan kerusakan infrastruktur akibat konflik ini. Laporan-laporan dari lembaga resmi di atas sudah cukup menggambarkan betapa hitam dan kelamnya konflik ini.

Humanitarian Pause & CoHA : Upaya-Upaya Perdamaian yang Gagal

Sebelum penandatanganan MoU Helsinki, telah terjadi dua kali upaya perundingan perdamaian. Dua perundingan itu dikenal dengan nama Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause) dan Perjanjian Penghentian Permusuhan atau CoHa (Cessation of Hostilities Agreement). Lembaga internasional bernama Henri Dunant Centre (HDC) disepakati menjadi mediator dalam dua perundingan tersebut.

Nota Kesepahaman Bersama Jeda Kemanusiaan Untuk Aceh (Join Understanding on Humanitarian Pause For Aceh) yang di gelar pada 12 Mei 2000. Sementara itu, perjanjian CoHA dilaksanakan pada 9 Desember 2002. Kedua perjanjian ini berlangsung di Jenewa, Swiss.

Namun, kedua nota kesepahaman itu tidak berumur panjang. Keruhnya rasa saling percaya di antara masing-masing pihak, pelanggaran yang terus menerus terjadi selama masa perjanjian berlaku, dan pendekatan resolusi konflik yang tidak menyentuh akar masalah jadi penyebab gagalnya kedua perjanjian ini.

"Meskipun ada kesepakatan untuk gencatan senjata, situasi di lapangan menunjukkan bahwa militer Indonesia dan GAM tidak dapat berkompromi, sehingga menyebabkan perjanjian jadi tidak efektif dalam menghentikan kekerasan," tulis Edward Aspinall dan Harold Crouch dalam paper studi kebijakan bertajuk “The Aceh Peace Process: Why it Failed” yang terbit pada 2003.

Eskalasi konflik jadi semakin runcing tatkala pemerintah Indonesia di masa kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Presiden No.28/2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan pada Senin, 19 Mei 2003.

Laporan dari International Crisis Group (ICG) berjudul “Aceh: Why The Military Option Still Won’t Work” mencatat bahwa sejak awal kedua perundingan itu sudah berjalan pincang. Baik Pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sama-sama menjalankan perundingan perdamaian tersebut dengan setengah hati.  “Tanpa adanya komitmen dan kesungguhan untuk berdamai diantara kedua belah pihak, perjanjian ini hanya menjadi solusi sementara yang mudah retak,” tulis laporan ICG itu.

Meski dianggap berhasil mengurangi kekerasan, baik Humanitarian Pause maupun CoHA dianggap gagal menyentuh akar masalah konflik seperti tuntutan otonomi dan kebutuhan politik rakyat Aceh.

“Proses damai yang diprakarsai HDC gagal karena kedua belah pihak tidak menyepakati isu mendasar tentang status Aceh; apakah merdeka atau tetap merupakan bagian integral NKRI,” tulis Iskandar Zulkarnaen dalam buku “Perdamaian Aceh: Analisis Kegagalan CoHA dan Keberhasilan MoU Helsinki” yang diterbitkan Universitas Malikussaleh Press pada 2008.

Faktor lain yang turut andil dalam dua kegagalan perjanjian ini adalah tidak adanya lembaga pemantauan yang kredibel. Tanpa pengawasan yang jelas, pelanggaran terhadap kesepakatan terus terjadi tanpa konsekuensi yang tegas. Ini menciptakan celah besar dalam proses perdamaian, hingga akhirnya meruntuhkan kepercayaan dan komitmen kedua belah pihak.

Menukil paper bertajuk “The HDC in Aceh: Promises and Pitfalls of NGO Mediation and Implementation”, Konrad Huber menjelaskan kendati lembaga monitoring telah dibentuk HDC, kerja-kerja lembaga itu berjalan tidak efektif. Sebab anggota didalamnya hanya terdiri dari pihak dari GAM, Pemerintah Indonesia dan HDC saja.

“Dalam posisi seperti itu, masing-masing pihak bisa saja melakukan veto atas permasalahan, laporan atau investigasi ke pihak lain tanpa pihak ketiga mampu memutuskan apapun. Hasilnya, lembaga monitoring yang dibentuk HDC tidak berjalan efektif karena didalamnya ada dua pihak yang berseteru dan tidak adanya saling kepercayaan diantara mereka,” tulis Konrad Huber.

Namun, situasi berubah drastis setelah tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana alam yang menewaskan sekitar 150.000 jiwa ini membawa dampak yang begitu masif. Akibat peristiwa ini, GAM dan Pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa konflik berkepanjangan hanya akan memperlambat pemulihan pasca bencana. Dari puing-puing bencana inilah muncul dorongan kuat untuk memulai dialog dengan komitmen yang lebih kuat.

Setahun berselang, perundingan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dimulai. Di mediatori Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin Martti Ahtisaari, perundingan berlangsung selama enam bulan di Helsinki, ibukota negara Finlandia.

Negosiasi Alot Dalam Lima Putaran

Sebulan setelah bencana tsunami, putaran perundingan pertama berlangsung pada 27-29 Januari 2005. Tim perunding GAM dipimpin Malik Mahmud dengan beranggotakan Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, Nurdin Abdurrahman dan Muhammad Nur Dzuli.

Sementara tim perunding Pemerintah Indonesia dipimpin Hamid Awaluddin dengan anggota yang terdiri dari Sofyan Jalil, Farid Husein, Usman Basja dan Gusti Wesaka Puak. 

Pihak CMI sebagai fasilitator dipimpin langsung oleh mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari yang didampingi Hannu Himanen, Juha Christensen dan Maria.

Menyadur buku bertajuk “Transformasi Gerakan Aceh Merdeka: Dari Kotak Peluru Ke Kotak Suara, Sebuah Kisah Sukses Program Transformasi Kombatan di Aceh” yang terbit pada 2010, putaran pertama dan kedua tercatat sebagai awal yang sangat sulit.

"Ini terutama terkait dengan peletakan dasar rasa saling percaya (trust building) di antara para perunding serta terhadap proses perundingan itu sendiri. Tahapan awal ini juga ditujukan untuk mempelajari posisi politik masing-masing yang akan dirundingkan,” tulis Mangadar Situmorang.

Dalam perundingan pertama, tercatat ada empat agenda penting yang dibahas. Pertama, bagaimana de-mobilisasi dan de-militerisasi dilaksanakan; Kedua, bagaimana pengawasan dan pelaksanaan perjanjian diberlakukan; Ketiga, bagaimana amnesti dan penyatuan kembali dari para mantan pejuang dilakukan; dan keempat, adalah bagaimana masa depan status politik Aceh dan keterlibatan GAM dalam politik lokal ditetapkan.

Negosiasi MoU Helsinki mencapai titik penting di putaran kedua yang berlangsung pada 21-23 Februari 2005. Perdebatan dalam putaran berlangsung dinamis sekaligus alot, terutama dalam tawar-menawar konsep pemerintahan otonom.

Pemerintah Indonesia saat itu menawarkan konsep otonomi khusus untuk menyelesaikan konflik secara permanen, tidak hanya sebagai gencatan senjata. Sementara GAM masih pada tuntutan serupa di putaran pertama, yakni menolak otonomi khusus dan ingin merdeka sepenuhnya.

Alotnya tawar menawar ini sempat menyebabkan terjadinya dead-lock atau kebuntuan. Bahkan kedua tim delegasi sempat hampir memutuskan berhenti dari perundingan jika usul dari masing-masing pihak tidak terakomodir. Namun, persoalan terselesaikan setelah Martti Ahtisaari berhasil meyakinkan kedua tim delegasi untuk mengurungkan niat mereka.

Martti menekan kedua belah pihak agar menghormati perundingan, “Ada prinsip yang harus dianut. Kedua belah pihak tidak boleh menarik diri begitu saja dalam perundingan, kecuali atas seizin CMI. Bila salah satu pihak menarik diri dari perundingan, maka CMI akan mengumumkan kepada dunia internasional bahwa pihak yang menarik diri telah menggagalkan perundingan,” tulis Riski Novialdi dalam paper bertajuk bertajuk “Dinamika Negosiasi GAM dan RI di Helsinki: Catatan atas Tahap Penjajakan (Trust Building) Hingga Pencapaian Kesepakatan Damai (MoU)”.

Selain itu, Martti juga berhasil melobi GAM agar menurunkan tuntutan mereka. Setelahnya, GAM mulai membuka diri dengan tidak lagi bersikeras mempertahankan tuntutan kemerdekaan penuh. GAM juga mulai menerima gagasan pemerintahan mandiri atau Self Government sebagai alternatifnya.

Kendati demikian, GAM tetap menolak konsep otonomi khusus yang ditawarkan Pemerintah Indonesia. Ihwal penolakan itu, menurut GAM, otonomi khusus tidak akan menyelesaikan permasalahan di Aceh. GAM berkaca pada pengalaman sebelumnya dimana otonomi khusus yang diberikan pemerintah berakhir dengan kegagalan.

Self Government sendiri sebenarnya merupakan konsep yang sudah dirancang Nurdin Abdurrahman dan Damien Kingsbury (penasihat utama GAM selama proses perundingan MoU Helsinki) sebagai Best Alternative to negosiated Agreement (BATNA) yang akan diusulkan apabila perundingan sudah tidak mencapai kesepakatan.

“Konsep Self Government yang diusulkan oleh pihak GAM ini mirip dengan konsep federasi, karena Aceh memiliki sejumlah kekhususan yang sangat luas, sementara dalam konsep otonomi khusus yang ditawarkan oleh pihak RI masih mempunyai keterbatasan-keterbatasan,” lanjut Riski dalam papernya yang terbit pada 2017 silam.

Putaran ketiga berlangsung pada 12-16 April 2005. Pembahasan penting dalam putaran ini adalah mengenai substansi otonomi khusus, pengaturan keamanan, pengaturan ekonomi, amnesti dan isu-isu lainnya. Pembahasan lainnya yaitu mengenai agenda ekonomi dengan kompensasi ekonomi yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada para mantan anggota GAM agar dapat hidup normal kembali menjadi masyarakat sipil.

Di putaran ketiga ini, sikap GAM yang tidak lagi kukuh ‘memerdekakan diri’ menandai perubahan signifikan dalam pendekatan mereka dalam putaran-putaran selanjutnya. Menyadur paper studi kebijakan nomor 20 Edward Aspinall bertajuk “The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?” pada 2005, perubahan pendekatan GAM ini didorong oleh dua faktor utama.

Pertama, para pemimpin GAM mulai menyadari bahwa memaksakan tuntutan kemerdekaan Aceh hanya akan menemui jalan buntu. Untuk itu, GAM perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih realistis guna mengakhiri konflik berkepanjangan.

“Konflik ini tidak dapat diselesaikan dengan cara seperti itu [dengan berkeras pada permintaan akan kemerdekaan] dan kami harus mengakuinya.... Dimana hal tersebut [pemerintahan mandiri] adalah hal yang utama dalam perundingan... dalam perundingan perundingan, kami maju dengan hal-hal yang mungkin untuk dibawa ke dalam perundingan,” ujar Bakhtiar Abdullah, juru bicara GAM, yang dikutip Aspinall dari Reuters pada 22 Februari 2005.

Faktor kedua adalah besarnya tekanan dunia internasional pasca tsunami 2004. Tekanan yang luar biasa ini disebabkan oleh sukarnya lembaga kemanusiaan untuk masuk dan memberikan bantuan ke Aceh lantaran masih berstatus daerah darurat militer. Sementara, korban bencana sangat membutuhkan penanganan segera. Secara tidak langsung, tekanan ini memaksa perundingan Helsinki jadi sangat mendesak untuk diselesaikan.

“Mereka ingin supaya Aceh ini ada solusi, supaya mereka bisa menyalurkan bantuan kemanusiaannya,” ujar Shadia Marhaban, salah satu aktivis perempuan Aceh yang saat itu menjadi koordinator Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dalam wawancaranya bersama Bob Sugeng Hadiwinanta pada 2010.

Dengan kata lain, agar akselerasi pemulihan Aceh pasca-bencana berjalan mulus, maka perundingan Helsinki harus menjadi prioritas utama. Perdamaian harus menjadi titik fokus kedua pihak yang berseteru.

Dalam putaran ke empat yang berlangsung pada 26-31 Mei 2005, sejumlah rekomendasi yang diusulkan GAM sudah disetujui delegasi Pemerintah Indonesia, khususnya persoalan amnesti bagi para kombatan GAM. Di putaran ini pula, kedua belah pihak menyetujui adanya dokumentasi dan formulasi tertulis capaian yang telah disepakati. Inilah yang kemudian menjadi awal mula penulisan draft MoU yang disusun CMI.

Kondisi perundingan juga semakin menunjukkan kemajuan positif. Martti Ahtisaari tercatat beberapa kali meninggalkan ruang perundingan, membiarkan delegasi GAM dan RI melanjutkan dialog. Meski Marti tidak di dalam ruangan, perundingan berlangsung kondusif dan lancar.

Putaran ke lima yang berlangsung pada 12-17 Juli 2005 menjadi titik paling kritis. Ancaman kegagalan muncul saat kedua pihak bersitegang soal pembentukan partai politik lokal. Berkat mediasi intensif dari Crisis Management Initiative (CMI), kesepakatan akhirnya tercapai, meskipun membutuhkan upaya ekstra dari semua pihak yang terlibat.

Saat itu, GAM menuntut adanya partai politik lokal sebagai bagian dari kesepakatan guna memberikan kesempatan kepada masyarakat Aceh, termasuk bekas kombatan, untuk berpartisipasi dalam proses politik di tingkat lokal.

Pemerintah Indonesia keberatan memenuhi usul itu dan menawarkan solusi partai berbasis nasional untuk mengakomodir keinginan GAM tersebut, namun mereka tetap menolaknya. Memang UUD 1945 tidak mengharamkan adanya partai politik lokal, namun usulan tersebut bertentangan dengan UU No.12/2003 tentang Partai Politik. Sistem perundang-undangan yang ada di Indonesia saat itu juga belum memuat bagaimana mekanisme pembentukan partai politik lokal.

“Hampir menggagalkan. Itu masalah politik lokal dan itu hari terakhir. Mereka [GAM] minta partai politik lokal. Ndak, nanti kalian [kader-kader GAM] bergabung ke partai nasional dan menyiapkan calon-calon dari GAM. Mereka gak mau, itu tidak menjamin kata mereka. Itu partai [partai lokal] bekerjanya atau ruang lingkupnya hanya di Aceh,” ujar JK dalam wawancaranya bersama Wisnu Nugroho yang dikutip dari kanal YouTube kompas.com, pada Senin, 23 Desember 2024.

Kebuntuan yang muncul kembali dengan cepat direspon delegasi RI. Mereka segera bergegas menghubungi Wakil Presiden Indonesia saat itu, Jusuf Kalla. Setelah melalui diskusi yang sangat intens, JK setuju dengan tuntutan GAM untuk mendirikan partai lokal di Aceh. Sebelum mengambil keputusan itu, ia sempat berdiskusi dengan Susilo Bambang Yudhoyono -Presiden RI kala itu- dan ia menyetujuinya.

Kesepakatan ini dicapai dengan pertimbangan untuk mencari formulasi yang tepat agar tidak menimbulkan kontroversi di parlemen. Hingga pada akhirnya dituangkan dalam draft MoU Helsinki yang disusun CMI. Draft inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh.

Perundingan ini juga menyepakati tentang adanya Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan perwakilan dari Uni Eropa dan lima negara ASEAN (Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina dan Malaysia) sebagai pengawas perdamaian dan keamanan Aceh.

Selain itu, perundingan juga melahirkan kesepakatan tentang pembagian hasil sumber daya alam yang dianggap lebih adil, dengan memberi wewenang lebih besar kepada pemerintah daerah. Penegakan hak asasi manusia turut menjadi salah satu poin utama walau hingga saat ini penegakannya masih abu-abu.

Pada Senin, 15 Agustus 2004, GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat berdamai dan mengakhiri konflik yang sudah berlangsung selama 30 tahun.

***

MoU Helsinki menjadi tonggak sejarah yang mengubah wajah Aceh. Perjanjian ini tidak hanya mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama tiga dekade, tetapi juga membuka jalan bagi munculnya reformasi sosial, politik, dan ekonomi di wilayah yang sebelumnya dilanda kekerasan bertahun-tahun itu.

Perjanjian ini mengajarkan bahwa konflik yang tampaknya tidak berujung justru dapat diselesaikan dengan dialog, kompromi, dan keberanian untuk saling mendengarkan. Bagi dunia, perdamaian Aceh adalah pengingat bahwa kekuatan diplomasi mampu memadamkan api konflik yang membara.

Namun, perdamaian bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah perjalanan panjang yang harus dijaga. Dan generasi hari inilah yang memikul tanggung jawab itu.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.