Mengapa Kita Saling Menggugat: Renungan tentang Dialog dan Hukum dalam Masyarakat

Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh

Sudah saatnya kita merenungkan kenapa kita lebih memilih untuk saling menggugat daripada bercakap-cakap. 

koranaceh.net | Di tengah dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, kita sering kali menyaksikan situasi di mana warga negara lebih memilih untuk saling menggugat daripada berkomunikasi dan berdialog.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada skala besar, seperti konflik politik atau sengketa hukum, tetapi juga di tingkat komunitas dan organisasi. 

Salah satu contoh yang mencolok adalah gugatan-gugatan yang diajukan terkait dengan proses seleksi calon kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). 

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa kita lebih memilih untuk menggugat satu sama lain, padahal kita masih memiliki kemampuan untuk bercakap-cakap dan berkomunikasi?

Salah satu alasan utama mengapa gugatan ini muncul adalah karena adanya kepentingan yang bersinggungan. 

Dalam konteks seleksi calon kepala BPMA, berbagai pihak biasanya memiliki agenda dan tujuan yang berbeda-beda. 

Ketika komunikasi yang efektif tidak terjalin, maka akan tercipta kondisi di mana pihak-pihak tersebut merasa terdesak untuk membela kepentingan masing-masing. 

Dalam keadaan seperti ini, hukum sering kali dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan atau bahkan untuk mempertajam konflik yang ada.

Selain itu, kurangnya pemahaman dan kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. 

Pada saat komunikasi terputus, asumsi negatif dan prasangka buruk terhadap niat dan tindakan orang lain seringkali muncul. 

Akibatnya, ketidakpahaman ini dapat berujung pada tindakan saling menggugat, yang pada gilirannya hanya akan memperparah ketegangan yang sudah ada. 

Pada titik ini, hukum seolah menjadi solusi paling mudah untuk melindungi hak-hak yang merasa terancam, meskipun jelas bahwa proses hukum sering kali memakan waktu, biaya, dan emosi.

Kita juga harus mempertimbangkan bahwa di masyarakat yang kian kompleks, hukum sering diinterpretasikan dan digunakan secara berbeda sesuai dengan kepentingan individu. 

Hal ini menjadikan hukum terkadang tidak berfungsi dengan baik sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik, tetapi malah memperpanjangnya. 

Bukannya mencari solusi yang sinergis melalui dialog, masyarakat justru terjebak dalam labirin gugatan yang memperlihatkan bahwa dialog yang sehat semakin langka.

Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Masih ada harapan untuk mengembalikan dialog sebagai alat primadona dalam menyelesaikan perbedaan. 

Dengan membangun budaya komunikatif dan saling mendengarkan, kita dapat menciptakan ruang di mana semua pihak merasa dihargai dan didengarkan. 

Pendidikan tentang pentingnya komunikasi yang terbuka dan konstruktif perlu digalakkan, sehingga warga negara tidak lagi melihat hukum sebagai satu-satunya cara untuk menyelesaikan permasalahan.

Sudah saatnya kita merenungkan kenapa kita lebih memilih untuk saling menggugat daripada bercakap-cakap. 

Kembali pada esensi komunikasi yang tulus dan penuh pengertian adalah langkah awal untuk menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik. 

Memperkuat ikatan sebagai warga negara dengan dialog dan kerjasama akan membawa dampak positif yang lebih besar ketimbang melibatkan diri dalam gugatan yang tidak berujung. 

Hanya dengan saling menghargai dan mengedepankan komunikasi yang konstruktif kita bisa mengurangi tindakan saling menggugat dan menciptakan harmoni yang diimpikan dalam masyarakat.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.