Negara-Negara Barat & Timur Tengah Bahas Percepatan Bantuan ke Pemerintah Baru Suriah
Pertemuan internasional di Riyadh membahas percepatan bantuan untuk Suriah pasca-Assad. Fokus diskusi meliputi transisi pemerintahan inklusif, tantangan rekonstruksi, dan hubungan Turki dengan pasukan Kurdi.
Riyadh (Arab Saudi) - Para menteri dari 17 negara Timur Tengah dan Barat berkumpul di Riyadh untuk membahas percepatan bantuan bagi pemerintahan baru Suriah sekaligus menekan kepemimpinan sementara agar memenuhi komitmen membentuk pemerintahan yang inklusif bagi semua agama dan kelompok etnis.
Pertemuan pada Minggu, 12 Januari 2025, itu berlangsung di tengah desakan demonstran Suriah agar Barat segera mencabut sanksi ekonomi. Mereka berharap pencabutan sanksi dapat mendorong lebih banyak pengungsi untuk kembali dari Eropa dan negara-negara tetangga.
Amerika Serikat pekan lalu telah melonggarkan beberapa pembatasan pada bantuan kemanusiaan darurat dan pasokan energi, yang memungkinkan Qatar mengirimkan kapal tanker gas ke Suriah pada Minggu.
Namun, pertemuan di Riyadh ini tidak mengundang Rusia maupun Iran—dua kekuatan eksternal dominan selama masa pemerintahan mantan diktator Suriah, Bashar al-Assad. Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Peran Saudi dalam Rekonstruksi Suriah
Langkah Arab Saudi menjadi tuan rumah acara ini dianggap signifikan karena menunjukkan Riyadh ingin mengambil peran utama bersama Turki dan Qatar dalam membangun kembali Suriah. Sebelumnya, Saudi dan Turki mendukung faksi berbeda yang menentang Assad.
Meski demikian, beberapa diplomat Barat masih ragu terhadap kesiapan pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, yang juga kepala kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Meski Sharaa berjanji membentuk pemerintahan yang lebih luas pada Maret, kesuksesan ofensif militer kelompoknya pada Desember diduga membuatnya belum sepenuhnya siap menjalankan transisi.
“Sharaa mungkin tidak sepenuhnya menyadari bahwa tantangan ini dapat menciptakan perlawanan baru terhadap transisi,” ujar seorang sumber diplomatik.
Dalam perkembangan positif, Sharaa dilaporkan telah bertemu dengan koalisi oposisi politik lama, Syrian National Coalition, selama hampir tiga jam pekan lalu.
Tantangan Menuju Transisi Demokrasi
Beberapa pihak di PBB memprediksi Suriah membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyusun konstitusi baru dan empat tahun untuk menyelenggarakan pemilu. Waktu ini lebih lama dari resolusi PBB 2254, yang saat ini menjadi acuan transisi demokrasi.
Kekhawatiran muncul terkait pengangkatan hakim di pengadilan yang dibentuk pemerintah baru, terutama jika sebagian besar berasal dari Provinsi Idlib, basis HTS di Suriah. Legitimasi lembaga hukum tersebut bisa dipertanyakan.
Masalah lainnya adalah integrasi faksi militer ke dalam tentara nasional Suriah, termasuk peran pejuang asing. Qatar, yang khawatir puluhan ribu Alawit kehilangan pekerjaan di sektor publik, telah menawarkan subsidi gaji untuk mengurangi potensi ketegangan.
“Kita berbicara tentang ratusan ribu orang. Ini tantangan besar,” ujar sumber diplomatik.
Diplomat Barat juga mencemaskan sikap Turki terhadap Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi. Ankara terus menyerang SDF karena menilai kelompok itu memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh Turki.
Beberapa diplomat mengkhawatirkan apakah serangan Turki terhadap SDF akan menghancurkan peluang Sharaa untuk sukses, atau justru membantu keberhasilannya jika SDF dikalahkan.
Sharaa sendiri berupaya mencegah desentralisasi Suriah dimanfaatkan oleh Kurdi untuk memblokir pendapatan minyak ke pemerintah pusat atau membentuk faksi militer terpisah dalam angkatan bersenjata nasional.
Bantuan Internasional dan Tantangan Rekonstruksi
Pertemuan Riyadh juga meninjau keputusan AS yang melonggarkan pembatasan bantuan kemanusiaan selama enam bulan. Uni Eropa juga mempertimbangkan langkah serupa pada akhir Januari.
Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, menyatakan komitmennya untuk mendukung rakyat Suriah. “Kami akan menyediakan tambahan €50 juta untuk makanan, tempat tinggal darurat, dan perawatan medis,” ujarnya.
Namun, skala kerusakan dan kemiskinan di Suriah, yang diperkirakan membutuhkan $500 miliar untuk pemulihan, membuat pemerintahan baru rentan jika euforia pasca jatuhnya Assad berubah menjadi kekecewaan atau konflik sektarian.
Sementara itu, menteri-menteri Arab yang bertemu sebelum pertemuan dengan diplomat Barat telah menyalurkan bantuan secara ad hoc tanpa banyak tuntutan kepada pemerintah Suriah.
Masalah lain yang menghambat bantuan adalah status HTS yang masih dianggap sebagai organisasi teroris, membuat bank asing sulit bekerja sama dengan bank sentral Suriah. Presiden AS Joe Biden menyerahkan keputusan untuk mencabut status teroris dari HTS kepada Donald Trump, sementara Sharaa menyatakan kesiapannya untuk membubarkan organisasi tersebut.[]
Sumber: The Guardian
Tidak ada komentar