Pelantikan Mualem-Dek Fahd Sebagai Dilema Hukum dan Politik di Aceh
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Oleh karena itu, momen pelantikan ini bukan sekadar seremonial, tetapi juga simbol keadilan dan penghormatan pada kesepakatan damai dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
koranaceh.net | Pelantikan Mualem-Dek Fahd yang direncanakan secara nasional pada 7 Februari 2025, kini tengah menjadi sorotan tajam di kalangan masyarakat Aceh.
Perdebatan mengenai kemungkinan perubahan tanggal pelantikan menjadi Maret menimbulkan kekhawatiran akan penghormatan terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh.
Kesepakatan damai yang dicapai melalui perundingan Helsinki jelas merupakan titik balik dalam sejarah Aceh, mengingat harga yang sangat mahal dalam darah dan harta yang dibayar selama lebih dari tiga dekade konflik.
Sejak awal, Aceh telah menjadi bagian dari panggung politik yang rumit antara daerah dan pusat. Sejarah mencatat, konflik antara Aceh dengan Jakarta sudah beberapa kali terjadi.
Fase pertama terjadi ketika pemberontakan DI/TII Aceh pada 1953 yang dipimpin Daud Beureuh. Dan fase kedua pada 1976 ketika perjuangan rakyat Aceh—yang dimotori GAM—kala itu menghadapi berbagai operasi militer dan kebijakan yang sering kali sangat keras.
Banyak nyawa melayang dan harta benda hilang; dampak sosial dan psikologis yang ditinggalkan terasa hingga saat ini.
Oleh karena itu, momen pelantikan ini bukan sekadar seremonial, tetapi juga simbol keadilan dan penghormatan pada kesepakatan damai dan Undang-Undang Pemerintah Aceh.
Dalam konteks ini, UUPA berfungsi sebagai payung hukum yang mengatur otonomi Aceh. Satu hal yang harus diperhatikan oleh Presiden Prabowo, terutama Menteri Dalam Negeri adalah pentingnya menghormati UUPA dalam proses pelantikan.
Pelanggaran terhadap aturan ini dapat diartikan sebagai bentuk pengabaian terhadap kesepakatan damai yang dicapai.
Jika pemerintah pusat memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi pada Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pelantikan gubernur, bupati, dan walikota di Aceh dibandingkan dengan UUPA, maka jelas hal ini menimbulkan konsekuensi ketidakpuasan di kalangan masyarakat Aceh.
Masyarakat Aceh membutuhkan kepastian dan penghormatan terhadap kesepakatan yang ada. Pelantikan yang dilakukan tanpa menghargai UUPA akan menimbulkan pertanyaan besar tentang kesungguhan pemerintah dalam menerapkan otonomi khusus bagi Aceh.
Jangan sampai, pelantikan ini menjadi alasan untuk membangkitkan kembali kekecewaan yang telah padam berkat kesepakatan damai.
Kebangkitan kembali ketegangan politik antara Aceh dan Jakarta bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
Dengan sejarah kelam yang dialami Aceh selama puluhan tahun, setiap langkah yang diambil oleh pemerintah pusat harus dipertimbangkan dengan seksama.
Keputusan untuk memundurkan pelantikan atau menganggap remeh UUPA akan menjadi blunder politik dimasa depan.
Masyarakat Aceh berharap agar pemerintah pusat, dalam hal ini Prabowo dan Menteri Dalam Negeri, dapat menyadari pentingnya menghargai UUPA.
Melalui penghormatan terhadap hukum yang ada, diharapkan hubungan antara Aceh dan Jakarta dapat terus terjalin dengan baik, demi masa depan yang lebih damai dan sejahtera.
Pelantikan Mualem-Dek Fahd lebih dari sekadar acara seremonial; akan tetapi sebagai langkah mempercepat proses pembangunan dan bahkan merupakan penentu arah masa depan Aceh.
Pemerintah harus bijak dalam mengambil keputusan agar kedamaian yang telah dicapai tetap terjaga.[]
Tidak ada komentar