Pemerintah Fokus Cegah Penyebaran PMK, Ganti Rugi Peternak Belum Dianggarkan

Ilustrasi. (Dok. Koran Aceh).

Kementerian Pertanian menyatakan belum ada skema ganti rugi bagi peternak yang ternaknya mati akibat PMK tahun ini. Pemerintah memprioritaskan vaksinasi dan pencegahan untuk mengendalikan penyakit tersebut.

Yogyakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan belum ada skema ganti rugi bagi peternak yang hewan ternaknya mati akibat penyakit mulut dan kuku (PMK) pada tahun ini. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, Agung Suganda, menjelaskan keputusan ini disebabkan oleh perubahan status PMK di Indonesia yang kini berada dalam kategori "tertular."

"Belum ada skema untuk itu (ganti rugi) karena memang kondisinya status kita adalah status tertular. Jadi, beda dengan pada kondisi PMK tahun 2022 dari kondisi bebas kemudian ada wabah," kata Agung saat konferensi pers di Yogyakarta, dikutip dari Antara, Sabtu, 11 Januari 2025.

Agung menuturkan, pada tahun 2022, pemerintah menyediakan ganti rugi bagi ternak yang dipotong paksa karena tidak dapat diselamatkan. Namun, situasi saat ini dinilai berbeda. "Untuk tahun ini karena bukan wabah, kemudian juga kami melihat kematian secara nasional tidak terlalu banyak, sehingga sampai saat ini belum ada alokasi untuk ganti rugi," ujarnya.

Fokus pada Pencegahan dan Vaksinasi

Agung menyebutkan pemerintah saat ini lebih memprioritaskan upaya pencegahan melalui penyediaan vaksin, obat-obatan, vitamin, dan desinfektan guna mencegah penyebaran PMK lebih lanjut. Ia juga mengingatkan pentingnya pengelolaan yang tepat oleh peternak. "Yang penting tidak boleh panik," ucapnya.

Sebagai bagian dari upaya pencegahan, pemerintah telah menyiapkan 4 juta dosis vaksin PMK yang akan didistribusikan ke daerah-daerah berisiko tinggi seperti Jawa Tengah dan DIY. Selain itu, wilayah penanganan PMK telah dibagi ke dalam tiga zona:
  • Zona Merah (kasus tinggi) meliputi Lampung, Pulau Jawa, Bali, dan NTB.
  • Zona Kuning (kasus sedang-tinggi) mencakup Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
  • Zona Hijau (bebas kasus) meliputi NTT, Maluku, dan Papua.
"Zona hijau inilah yang harus kita jaga agar PMK tidak masuk," tegas Agung.

Pembentukan Satgas Nasional PMK

Merebaknya kembali kasus PMK sejak akhir 2024, sebagian besar disebabkan oleh kepanikan peternak. Ketika ternaknya sakit, terang Agung, banyak peternak menjual hewan tersebut ke pasar hewan tanpa melakukan isolasi atau pengobatan, sehingga mempercepat penyebaran virus.

"Kami mencatat penyebaran ini terjadi karena adanya kepanikan dari para peternak. Pada saat ternaknya sakit, mereka tidak melakukan isolasi dan pengobatan, justru dijual ke pasar-pasar hewan kita, dan inilah yang menyebabkan penularan penyebaran PMK ini," jelasnya.

Untuk mengatasi situasi ini, Kementan telah membentuk Satgas PMK Nasional yang melibatkan berbagai pihak, termasuk asosiasi peternak dan asosiasi profesi seperti Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).

Agung optimistis Indonesia dapat mengendalikan kasus PMK, termasuk menghadapi kebutuhan daging sapi selama puasa, Lebaran, dan Idul Adha 2025. "Insya Allah kita bisa melewati ini dan sekali lagi kita siap menghadapi puasa dan Lebaran tahun 2025 dengan ketersediaan daging sapi yang cukup," ujarnya.

Di akhir keterangannya, Agung mengimbau peternak untuk segera melaporkan ternak yang sakit agar mendapat penanganan cepat dari pihak terkait. Ia juga meminta para peternak tidak menjual ternak yang sakit demi mencegah penyebaran lebih luas. "Saya pikir para peternak kita sudah punya pengalaman sebetulnya terkait dengan kasus PMK yang terjadi di tahun 2022," tutupnya.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.