Pendengung: Suara yang Tidak Terlihat

Ilustrasi.

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh 

'Pendengung' tidak hanya sebuah metafora. Pun bukan lagi sekadar istilah untuk mereka yang menyebar isu.

koranaceh.net | Pendengung adalah fenomena akustik yang sering kali dialami oleh banyak orang, di mana individu merasakan suara seperti dering atau dengungan yang berasal dari dalam telinga, meskipun tidak ada sumber suara eksternal yang dapat diidentifikasi. 

Kata “Pendengung” saat ini dimaknai “Buzzer Bayaran” yang populer sejak Joko Widodo mulai berkuasa di Indonesia dan mereka disebut influencer.

Buzzer berasal dari kata buzz yang dalam Bahasa Inggris berarti berdengung atau bergumam. Secara harfiah, buzzer adalah individu atau sekelompok orang yang bertugas menyuarakan isu atau gerakan tertentu di media sosial secara terus menerus agar mendapat perhatian banyak orang. 

Dalam era digital yang semakin maju, pemanfaatan media sosial sebagai alat komunikasi dan pemasaran semakin meluas. Salah satu fenomena yang muncul seiring dengan perkembangan ini adalah munculnya ‘buzzer’ atau pendengung.

Baca Juga:
Tragedi di Rest Area: Ketika Oknum Penegak Hukum Menjadi Pelanggar Hukum

Istilah ini menjadi lebih dikenal di Indonesia, terutama selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi. 

Dalam konteks ini, buzzer merujuk pada individu atau kelompok yang memanfaatkan platform media sosial untuk menyebarluaskan informasi, mendukung tokoh tertentu, atau mempengaruhi opini publik.

Buzzer mulai mendapat sorotan pada pemilihan umum di Indonesia, khususnya dalam pilpres tahun 2014 dan 2019. 

Di masa itu, media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram dan lain-lain menjadi arena baru bagi para pendukung untuk mempromosikan kandidat pilihan mereka.

Baca Juga:
Mengapa Kekerasan Berakar dari Cara Kita Berpikir?

Jokowi sendiri merupakan salah satu pemimpin yang mengadopsi media sosial dengan baik. Ia menggunakan dan memanfaatkan platform-platform digital tersebut untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat serta menyampaikan visi-misinya. 

Dalam upayanya menjangkau generasi muda yang aktif di media sosial, Jokowi terlihat lebih dekat dengan para pemilih.

Munculnya buzzer juga berkaitan dengan cara-cara baru dalam berpolitik. Mereka seringkali dipekerjakan oleh partai politik atau calon legislatif untuk membangun narasi positif tentang figure yang didukung atau untuk menyerang lawan politik. 

Hal ini tidak lepas dari kepentingan politik praktis, di mana pengaruh media sosial semakin besar dalam membentuk persepsi publik.

Baca Juga:
Akhir Cerita Mengenai Kepala BPMA

Dengan kemampuan buzzer untuk viral dalam waktu singkat, informasi yang mereka sebar dapat menjangkau khalayak yang lebih luas tanpa terbatas oleh ruang dan waktu.

Namun, fenomena buzzer juga tidak lepas dari kontroversi. Banyak yang berargumen bahwa keberadaan buzzer membawa dampak negatif terhadap diskursus publik.


Penyebaran informasi yang tidak akurat, pencemaran nama baik, serta polarisasi masyarakat menjadi isu yang sering muncul. 

Dalam konteks ini, buzzer dapat dianggap sebagai senjata dua mata yang dapat digunakan untuk memotivasi dukungan sekaligus menimbulkan kebencian di antara pendukung lawan.

Baca Juga:
Perlawanan Tanpa Kekerasan

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengguna media sosial dan pemerintah dalam menyikapi informasi yang beredar.

Pemerintah Jokowi banyak menghabis anggaran negara untuk Influencer yang beda tipis dengan buzzer guna menyebarkan  informasi di media sosial yang kurang lebih sebagai pencitraan pribadi.

Bahkan setelah berhenti dari presiden, jokowi masih terus menggunakan pendengung, buzzer atau influencer untuk pencitraan ditengah tuduhan serius dari OCCRP, dalam masalah prilaku korupsi.

Buzzer atau pendengung adalah bagian dari dinamika politik dan sosial yang terjadi di era Jokowi. Keberadaan mereka merupakan refleksi dari perubahan cara komunikasi dalam masyarakat yang kini semakin mengandalkan teknologi.

Baca Juga:
Sycophant atau Para Pembisik

Meskipun membawa banyak tantangan, fenomena ini juga menawarkan peluang bagi demokratisasi informasi dan perdebatan publik. 

Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara pemanfaatan media sosial untuk tujuan positif dan upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin timbul.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.