Peneliti BRIN: Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di Indonesia Belum Optimal, Mengapa?
![]() |
Aliansi Buruh Aceh saat melakukan aksi demonstrasi pada peringatan hari Buruh Internasional di Simpang Lima, Banda Aceh, Rabu (1/5/2024) lalu. (Foto : kba.one/Wahyu Majiah). |
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dirancang untuk melindungi pekerja dari dampak PHK. Namun, hingga kini, banyak korban PHK yang belum memanfaatkannya. Apa yang menghambat program ini berjalan optimal?
Banda Aceh - Kemiskinan dan kerentanan sosial masih menjadi isu mendesak di Indonesia, terutama bagi pekerja yang menghadapi ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)—yang mulai diterapkan pada 1 Februari 2022—dirancang untuk membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan dengan memberikan uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan keterampilan.
Hingga April 2023, BPJS Ketenagakerjaan mencatat pembayaran manfaat JKP sebesar Rp135,99 miliar kepada 28 ribu pekerja terdampak PHK. Namun, jumlah tersebut jauh dari estimasi total korban PHK yang mencapai lebih dari 113 ribu orang sejak 2021. "Dengan perbandingan ini, terlihat masih banyak korban PHK yang belum mendapat manfaat dari jaring pengaman ini," tulis Yanu Endar Prasetyo dan rekan-rekannya dari BRIN dalam analisis mereka.
Menyadur The Conversation dalam artikel bertajuk "Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan di Indonesia Masih Seret, Tiga Hal Ini Penyebabnya", Yanu Endar Prasetyo, Devi Asiati, Ngadi, Triyono, dan Vera Bararah Barid dalam tulisan tersebut memaparkan tiga faktor utama yang jadi penghambat pelaksanaan JKP: dinamika politik dan persepsi publik, kendala administrasi, serta rendahnya literasi dan kesiapan teknis.
Salah satu tantangan besar berasal dari hubungan JKP dengan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker). Sejak awal, tulis para peneliti yang berasal dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini, UU tersebut dianggap lebih berpihak pada investasi ketimbang perlindungan hak pekerja. Kontroversi ini membuat serikat buruh di beberapa daerah industri, seperti Kabupaten Bekasi dan Kota Batam, menolak mendukung program JKP.
"Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Ciptaker dan secara tegas tidak ikut melakukan sosialisasi manfaat JKP kepada anggotanya," ungkap mereka dalam tulisan tersebut yang di kutip pada Rabu, 8 Januari 2025.
Sikap ini dipertegas oleh salah satu pimpinan serikat buruh yang diwawancarai mereka: “Yang kami butuhkan adalah jaminan kepastian pekerjaan, bukan jaminan kehilangan pekerjaan! JKP justru menjadi alasan yang mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawannya.”
Kendala lain yang menjadi penghambat adalah proses administrasi yang rumit. Hanya pekerja formal yang terdaftar di berbagai program jaminan sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang bisa mengakses JKP. "Dengan persyaratan administratif seperti ini, JKP masih bias pekerja formal dan hanya bisa diperoleh mereka yang pemberi kerjanya tertib dan jujur dalam membayar iuran bulanan pekerjanya," jelas tim peneliti BRIN.
Selain itu, rendahnya literasi masyarakat terhadap program JKP juga menjadi tantangan signifikan. Banyak pekerja yang tidak memahami manfaat JKP karena minimnya sosialisasi dari pemerintah. "Manfaat JKP sebenarnya cukup positif, tetapi minimnya sosialisasi resmi membuat berbagai manfaat baik ini belum dikenal atau diketahui oleh publik secara luas," tulis mereka.
Tak hanya itu, kesiapan teknis program ini juga dipertanyakan. Mereka menyoroti kurangnya evaluasi terukur dan transparansi untuk memastikan program ini benar-benar berjalan efektif. Meski manfaat uang tunai memiliki mekanisme yang cukup jelas, tutur mereka, manfaat lainnya seperti pelatihan kerja dan akses informasi pasar kerja masih belum berjalan optimal. "Kecocokan jenis pelatihan dengan kebutuhan pekerja masih dipertanyakan".
Untuk meningkatkan efektivitas JKP, BRIN memberikan beberapa rekomendasi. Mereka menyarankan agar persyaratan administratif dipermudah, seperti mengurangi jumlah jaminan sosial wajib bagi pekerja informal. Selain itu, manfaat pelatihan kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan individu. Kemudian, pemerintah perlu memperluas cakupan JKP untuk pekerja kontrak dan mereka yang mengundurkan diri.
"Melihat kondisi ketenagakerjaan yang semakin rentan, JKP menjadi pengaman yang semakin penting bagi masyarakat," tulis artikel tersebut. Dengan melakukan perbaikan ini, program JKP diharapkan bisa lebih efektif dalam melindungi korban PHK sekaligus membantu mereka kembali ke dunia kerja.[]
Sumber: The Conversation
Tidak ada komentar