Raja Saifullah Mengangkat Abuya Amran Waly al-Khalidi Sebagai Qadhi Malikul ‘Adil di Aceh Darussalam
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Dalam konteks masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai tradisional, peran seorang Qadhi harus mampu menyeimbangkan antara hukum dan hikmah, antara kewenangan dan pelayanan.
koranaceh.net | Raja Saifullah, keturunan Raja Sultan Alaidin Inayatsyah yang ke-13, Kesultanan Aceh Darussalam, mengangkat Abuya Amran Waly al-Khalidi sebagai Qadhi Malikul ‘Adil, atau sering dikenal sebagai Mufti Kerajaan.
Dalam budaya Aceh, jabatan Qadhi Malikul ‘Adil merupakan posisi tertinggi dalam hal keagamaan, yang sangat dihormati dan dianggap memiliki kedudukan strategis dalam mengatur syariat Islam.
Abuya Amran Waly al-Khalidi dikenal sebagai seorang faqih atau ahli hukum Islam, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam ilmu kalam, tauhid, dan tasawuf.
Kalau tempo dulu, Sebagai Qadhi, tentunya, Abuya Amran Wali memiliki tugas utama untuk menegakkan hukum Islam dan menyelesaikan perselisihan antarwarga.
Kepemimpinan yang sangat diperlukan untuk memastikan bahwa nilai-nilai syariah diterapkan dengan adil dan merata, sehingga masyarakat dapat hidup dalam harmoni dan ketentraman.
Kesultanan Aceh sendiri, yang memiliki tradisi panjang dalam memelihara ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, menjadi tempat yang subur bagi tokoh-tokoh intelektual semacam Abuya Amran Wali.
Sebelumnya, jabatan Qadhi Malikul ‘Adil ini juga pernah diisi oleh tokoh-tokoh besar seperti Syekh Abdurrauf atau Syiah Kuala, yang dikenal dengan karya-karya dan pemikirannya yang mendalam.
Syiah Kuala dan Syech Nuruddin Ar Raniry adalah cerminan dari tradisi intelektual Aceh yang kaya, di mana pemikirannya masih relevan hingga saat ini.
Qadhi Malikul ‘Adil atau Mufti Kesultanan Aceh Darussalam terakhir dikenal dengan nama Tuanku Raya Keumala menjelang kejatuhan total kesultanan Aceh yang pernah tercatat dalam lima besar kesultanan yang megah di dunia.
Dengan pengangkatan Abuya Amran Waly al-Khalidi, diharapkan beliau mampu melanjutkan warisan intelektual dan spiritual ini.
Beliau dikenal bukan hanya sebagai seorang penguasa ilmu yang tinggi, tetapi juga sebagai ulama sufi yang memiliki daya tarik tinggi di kalangan masyarakat.
Kombinasi antara pemahaman agama yang mendalam dan kemampuan mengelola masyarakat dengan bijak menjadi modal utama Abuya Amran dalam melaksanakan tugasnya sebagai Qadhi.
Posisi Abuya Amran ini tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum, tetapi juga mengandung tanggung jawab moral dan sosial.
Dalam konteks masyarakat Aceh yang kental dengan nilai-nilai tradisional, peran seorang Qadhi harus mampu menyeimbangkan antara hukum dan hikmah, antara kewenangan dan pelayanan.
Oleh karena itu, kepemimpinan beliau diharapkan dapat menjadi pelita dalam menerangi jalan masyarakat Aceh menuju masyarakat yang lebih baik, adil, dan sejahtera.
Kesultanan Aceh Darussalam, di bawah peran Raja Saifullah dan Abuya Amran, menunjukkan bahwa suatu pemerintahan yang efektif harus dibangun atas dasar ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama yang luhur.
Melalui sinergi antara pemimpin dan ulama, diharapkan Aceh dapat terus berperan sebagai pusat peradaban Islam yang terhormat dan dihormati di mata dunia.[]
Tidak ada komentar