Argumen yang Ditolak adalah Damai yang Dikhianati
Daftar Isi
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
“Negeri ini didirikan berdasarkan kemampuan berargumen,” kata Rocky Gerung dalam salah satu dialektikanya.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan kebenaran mendasar: republik ini lahir dari dialog, perdebatan, dan adu gagasan. Sejak sidang-sidang BPUPKI, perumusan Piagam Jakarta, hingga lahirnya UUD 1945, bangsa ini menemukan bentuknya bukan lewat moncong senjata, melainkan lewat rasionalitas dan konsensus.
Maka, ketika Aceh hari ini menuntut revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan bersandar pada MoU Helsinki, sesungguhnya yang ditawarkan bukanlah ancaman, melainkan argumen. Dan bukankah argumen adalah fondasi republik ini sendiri?
Janji Damai yang Mengikat, Argumen sebagai Jalan Politik
MoU Helsinki tahun 2005 bukan sekadar lembaran kertas. Ia adalah jembatan yang mengakhiri tiga dekade konflik bersenjata, yang merawat luka panjang, dan yang meneguhkan kembali Aceh dalam bingkai NKRI. Dari MoU itu lahirlah UUPA, sebagai terjemahan legal dari janji damai.
Namun, perjalanan dua dekade terakhir menunjukkan adanya jurang antara isi MoU dan implementasi UUPA. Banyak ketentuan yang menyimpang, dipersempit, atau bahkan diabaikan. Maka revisi UUPA yang diajukan Aceh bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan tuntutan agar negara menepati janji yang sudah disepakati di hadapan dunia.
Jika republik ini berdiri di atas kemampuan berargumen, maka menolak argumen Aceh sama saja menolak fondasi berdirinya republik itu sendiri. Aceh memilih jalur konstitusional, tidak mengangkat senjata, melainkan membawa logika, naskah, dan rasionalitas.
Pertanyaannya, apakah negara masih cukup percaya diri menjawab argumen dengan argumen, atau justru memilih jalan singkat: menutup telinga, menebar stigma, dan menganggap perdebatan sebagai ancaman?
Ketika Negara Kehilangan Kejujuran
Demokrasi menuntut kejujuran politik: janji harus ditepati, kesepakatan harus dihormati. Bila revisi UUPA dicurigai sebagai bahaya, maka sesungguhnya bahaya itu bukan datang dari Aceh, melainkan dari negara yang mengingkari dirinya sendiri. Sebab, menolak argumen adalah menolak jati diri republik.
Yang lebih berbahaya, bila suara yang mengetuk pintu ditolak, jangan salahkan bila kelak ia mencari jalan lain untuk didengar. Menutup ruang argumen adalah membuka ruang frustrasi.
Negeri ini lahir dari kemampuan berargumen. Maka, apa salahnya bila Aceh menagih janji damai lewat argumen MoU Helsinki? Bila argumen ditolak, damai pun dikhianati. Dan jika damai dikhianati, sejarah mengajarkan: luka yang ditutup tanpa diobati hanya akan berdarah kembali.