Hasan yang Tak Rampung: Meluruskan Narasi, Menyigi Jurang Antara Gagasan dan Praktik

Daftar Isi
Ilustrasi grafis Hasan Muhammad di Tiro. (Foto: Dok. Koran Aceh).
Pemikiran Hasan di Tiro kerap direduksi sebatas perang bersenjata. Gagasannya pun masih berjarak dengan realitas Aceh masa kini.

koranaceh.net | Banda Aceh – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry menggelar diskusi publik dan bedah buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro" (Harga Sebuah Kemerdekaan: Catatan Harian Teungku Hasan di Tiro yang Belum Selesai) untuk memperingati 100 tahun kelahiran proklamator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Muhammad di Tiro.

Acara bertajuk “Catatan yang Belum Selesai” tersebut berlangsung di Aula Museum Teater UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (25/9/2025). Pantauan koranaceh.net di lokasi, sejak pukul 14.00 WIB, puluhan peserta yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, aktivis hingga warga umum mulai berdatangan. Sebagian terlihat membawa buku catatan, sebagian lain hanya menyimak. Adapun, mayoritas peserta adalah generasi muda Aceh pasca konflik.

Haekal Afifa (kanan), peneliti dan penerjemah buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro" tengah menceritakan telaahnya terhadap buku Hasan Muhammad di Tiro di Aula Museum Teater UIN Ar-Raniry, Kamis (25/9/2025). (Foto: Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).
Haekal Afifa (kanan), peneliti dan penerjemah buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro" tengah menceritakan telaahnya terhadap buku Hasan Muhammad di Tiro di Aula Museum Teater UIN Ar-Raniry, Kamis (25/9/2025). (Foto: Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).

Ketua DEMA-FSH UIN Ar-Raniry, Razif Alfarisy, mengatakan selain untuk memperingati 100 tahun kelahiran Hasan di Tiro, kegiatan ini juga ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan generasi muda yang dinilai mulai apatis terhadap sejarah Aceh.

Salah satunya contohnya adalah asal usul bendera Bintang Bulan. Menurutnya, kebanyakan anak muda tidak tahu dari mana dan siapa penggagas bendera tersebut. “Padahal, bendera Bintang Bulan lahir dari Gerakan Aceh Merdeka, dan Hasan di Tiro salah satu penggagasnya,” ujarnya kepada koranaceh.net.

Ia juga menyinggung minimnya perhatian dari pemerintah Aceh terhadap momen ini. Hingga saat acara digelar, ia mengatakan, belum melihat adanya ucapan resmi maupun kegiatan serupa.

“Pemerintahan yang sekarang kan seharusnya justru lebih dekat dengan pemikiran Hasan di Tiro. Namun, kita lihat sekarang, jangankan acara, ucapan selamat aja sampai sore ini belum kami lihat. Entah memang lupa atau sengaja dilupakan, kami tidak tahu,” tambahnya.

Bagi Razif, memperingati tokoh seperti Hasan di Tiro tidak semestinya berhenti pada seremoni. Ia berharap acara seperti ini dapat melahirkan gagasan-gagasan baru yang relevan dengan kebutuhan Aceh kedepannya.

Meluruskan Narasi

Haekal Afifa, peneliti sekaligus penerjemah buku tersebut, menyebut hadirnya edisi terjemahan ini menjadi momentum penting bagi publik, terutama bagi generasi muda Aceh. Pasalnya, ia menilai, narasi populer ihwal Hasan di Tiro cenderung menyederhanakan perjuangannya hanya sebatas perang bersenjata.

“Orang berpikir tentang Hasan di Tiro itu hanya 'perang, perang, perang,' sebatas perlawanan fisik dengan senjata. Padahal, ia sendiri menempatkan perjuangan GAM sebagai gerakan pendidikan dan gerakan intelektual progresif,” terang Haekal kepada koranaceh.net. Membangun kesadaran orang Aceh lewat pemahaman sejarah dan geopolitik, sambungnya, merupakan fokus utama Hasan di Tiro.

Buku ini, ia melanjutkan, juga meluruskan berbagai narasi keliru, termasuk anggapan perlawanan yang murni didasari ketidakpuasan ekonomi. Berdasarkan pengalamannya meneliti pemikiran Hasan di Tiro selama 12 tahun serta penelaahannya dalam menerjemahkan buku tersebut, dirinya justru menemukan narasi agama yang cukup dominan.

Suasana kegiatan diskusi dan bedah buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro", Kamis (25/9/2025), di Aula Museum Teater UIN Ar-Raniry. (Foto: Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).
Suasana kegiatan diskusi dan bedah buku “The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro", Kamis (25/9/2025), di Aula Museum Teater UIN Ar-Raniry. (Foto: Koran Aceh/Muntaziruddin Sufiady Ridwan).

Hal itu, sebut Haekal, menandakan bahwa nilai-nilai Islam menjadi salah satu pilar paling penting dari pemikiran dan perjuangan Hasan di Tiro. Selain itu, tambahnya, landasan perjuangan Hasan di Tiro juga sangat kuat berakar pada hukum internasional terkait hak penentuan nasib sendiri (self-determination).

Kekeliruan lain yang diluruskan adalah terkait penyebutan jabatannya. Menurut Haekal, publik dan media sering keliru menyebut Hasan di Tiro sebagai "Wali Negara." Sedangkan dalam dokumen-dokumen resmi yang ia teliti juga selama proses penerjemahan buku tersebut, Hasan di Tiro tidak pernah menggunakan gelar tersebut.

Kendati begitu, untuk memahami secara utuh pemikiran Hasan di Tiro, Haekal menyarankan agar membaca karya-karya lainnya. Sebab, “The Price of Freedom” hanya mencakup fase perjuangan Aceh Merdeka. Dia menyarankan pembaca merujuk pada karya-karya sebelumnya seperti Atjeh Merah (1948) dan Demokrasi untuk Indonesia (1958).

Menurut Haekal, akar permasalahan kekeliruan ini terletak pada minimnya kesadaran sejarah serta budaya literasi masyarakat. Padahal, kata dia, pemahaman yang benar terhadap semangat intelektual Hasan Tiro ini sangat relevan menjawab berbagai persoalan Aceh masa kini.

“Jadi, spirit intelektual itulah yang luput dari pandangan kita. Sisi pemikirannya ini menjadi tidak terbaca,” tuturnya.

Jurang Antara Gagasan dan Realitas

Sementara itu, Dr. Wiratmadinata yang menulis kata pengantar untuk buku terjemahan tersebut, menyoroti jurang pemisah antara gagasan dasar Hasan di Tiro dengan realitas politik Aceh pasca-damai. Ia mengatakan, kegagalan “membumikan” konsep dan pemikiran Hasan Tiro terlihat jelas dalam berbagai persoalan yang dihadapi Aceh pasca perdamaian.

“Angka kemiskinan kita tinggi, ekonomi kita rendah, PAD kita rendah, total investasi kita rendah, kita masih tergantung dengan dana otonomi khusus, dan tingkat pengangguran masih sangat tinggi,” papar akademisi dan aktivis kemanusiaan ini saat diwawancarai koranaceh.net seusai acara.

Menurutnya, semua persoalan tersebut terjadi lantaran arah kebijakan dan pembangunan Aceh selama tidak didasarkan pada upaya membangun kesadaran historis serta politik ke-Aceh-an. Para pemangku kebijakan, dalam pandangan Wira, seharusnya memposisikan pemikiran Hasan di Tiro sebagai landasan filosofis, khususnya dalam berpolitik.

Namun, alih-alih menjadikannya sebagai rujukan filosofis, para elite justru kadung terjebak dalam politik praktis. Padahal, terang Wira, kalau mengikuti landasan seperti yang digagas Hasan di Tiro, besar kemungkinan masyarakat Aceh bakal menjadi lebih maju karena yang dibangun adalah manusianya.

“Tapi, apa yang kita lihat hari ini sama sekali tidak mencerminkan apa yang ditulis Hasan di Tiro dalam The Price of Freedom,” pungkas Wira.



Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan