Manajemen PT. Surya Panen Subur 2: Potret Perusahaan yang Melecehkan Hukum

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh

Negara tidak boleh kalah oleh perusahaan; justru negara harus hadir membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan modal dan koneksi.

koranaceh.net Dalam sebuah negara hukum, tidak ada yang lebih berbahaya daripada ketika korporasi besar dengan kekuatan modalnya berani mempermainkan, bahkan melecehkan, putusan pengadilan. Inilah yang tampak dari kasus PT. Surya Panen Subur 2 (SPS 2) di Kebun Seuneuam, Kecamatan Darulmakmur, Kabupaten Nagan Raya. Perusahaan perkebunan kelapa sawit ini seolah menutup mata terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara No. 690 PK/Pdt/2018, yang jelas-jelas menghukum mereka atas kasus kebakaran hutan dan lahan.

Putusan yang Dilanggar

Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis tegas: PT. SPS 2 diwajibkan melakukan pemulihan lahan seluas 1.200 hektare yang terbakar dengan biaya mencapai Rp302 miliar lebih, serta membayar ganti rugi materiil sebesar Rp130 miliar. Bukan hanya itu, ada syarat yang sangat penting: lahan yang terbakar tidak boleh lagi ditanami sawit, melainkan harus dikembalikan menjadi hutan sebagaimana fungsi ekologisnya.

Namun, apa yang terjadi? Fakta di lapangan menunjukkan manajemen SPS 2 baru bergerak setelah enam tahun berlalu, itu pun dengan langkah yang ganjil. Mereka menanam pohon gelam (sejenis akasia) sekitar 500 ribu batang baru pada tahun 2024. Lebih parah lagi, di lahan yang seharusnya dipulihkan menjadi hutan, mereka masih tetap merawat sawit. Sikap ini bukan hanya bentuk ketidakpatuhan, melainkan sebuah pelecehan terang-terangan terhadap hukum dan terhadap lembaga peradilan tertinggi di negeri ini.

Perusahaan yang Menantang Negara

Perilaku PT. SPS 2 dapat dimaknai sebagai bentuk arogansi korporasi yang merasa bisa berdiri di atas hukum. Padahal, putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menunda, apalagi mengabaikannya. Jika perusahaan sebesar SPS 2 bisa seenaknya mengulur waktu, apa yang akan dipikirkan masyarakat? Pesan yang tercermin ialah bahwa hukum bisa dinegosiasikan, keadilan bisa ditunda, dan kepentingan ekonomi lebih tinggi daripada kelestarian lingkungan serta kedaulatan hukum negara.

Lingkungan yang Dikorbankan

Kebakaran lahan seluas 1.200 hektare bukanlah hal kecil. Itu adalah bencana ekologis yang dampaknya dirasakan masyarakat luas, dari udara yang tercemar hingga rusaknya ekosistem. Ketika Mahkamah Agung memutuskan agar lahan dikembalikan menjadi hutan, itu adalah upaya untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan yang telah dirusak. Namun dengan masih ditanamnya sawit di kawasan tersebut, PT. SPS 2 menunjukkan bahwa profit lebih penting daripada keselamatan ekologis dan masa depan generasi mendatang.

Tanggung Jawab Negara yang Diuji

Kasus ini juga menguji ketegasan pemerintah. Jika pemerintah membiarkan perusahaan sebesar SPS 2 mengangkangi putusan hukum, maka wibawa negara runtuh. Maka wajar jika suara-suara dari masyarakat sipil seperti Budiarsa dari SIMASA bersama tim hukum LBH AKA Nagan Raya mendesak pemerintah melakukan langkah paksa, seperti pembatalan izin lingkungan (bestuursdwang). Negara tidak boleh kalah oleh perusahaan; justru negara harus hadir membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan modal dan koneksi.

Kasus PT. SPS 2 adalah contoh nyata bagaimana hukum di Indonesia kerap kali diuji oleh kepentingan korporasi besar. Namun, jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk: bahwa putusan Mahkamah Agung hanya tinta di atas kertas tanpa daya paksa. Karena itu, sikap tegas mutlak diperlukan. Pemerintah harus memastikan pemulihan ekologis dijalankan sepenuhnya, ganti rugi disetorkan ke kas negara, dan izin lingkungan dievaluasi.

Ketaatan pada hukum adalah syarat mutlak sebuah negara berdaulat. Ketika sebuah perusahaan berani melecehkan hukum, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keadilan, tetapi juga marwah negara. [*]