Panglima Tibang Baru di Tanah Damai Palsu

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Damai bisa ditulis di atas kertas, tapi marwah tak bisa dibeli dengan tanda tangan.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Seperti ombak yang kembali ke pantai, sejarah pengkhianatan pun berulang, hanya berganti nama dan pakaian.

Aceh selalu punya cara sendiri untuk mengingat pengkhianatan. Dari hikayat perang melawan Belanda hingga kisah berdarah perjuangan di era modern, satu nama terus menjadi cap abadi: Panglima Tibang. Ia adalah simbol pengkhianatan, lebih hina dari cuak, karena menjual marwah bangsa di hadapan musuh. Hari ini, dua puluh tahun setelah MoU Helsinki, bayang-bayang Panglima Tibang itu kembali menampakkan wajahnya dalam bentuk baru.

Damai yang dijanjikan ternyata tak lebih dari bayang-bayang semu. Janji sejahtera, otonomi luas, dan martabat yang seharusnya lahir dari perjanjian itu justru terkubur di balik gedung megah para elit politik Aceh. Rakyat tetap miskin, tanah tetap tergadai, dan marwah tetap diperdagangkan. Jika dahulu Tibang berpaling ke Belanda, kini pengkhianatan itu berpindah ke meja-meja kekuasaan dan kursi empuk parlemen.

Dua puluh tahun MoU Helsinki seharusnya menjadi tonggak emas: Aceh diberi ruang mengatur diri, menikmati hasil bumi sendiri, dan menata masa depan sesuai cita-cita rakyatnya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Jakarta menambah enam batalion TNI di Aceh—sebuah langkah yang jelas melanggar butir perjanjian. Wewenang Aceh dipreteli perlahan, dari sektor pertanahan hingga pengelolaan sumber daya alam.

Ironisnya, suara penolakan yang seharusnya lantang datang dari para pewaris perjuangan justru tenggelam dalam diam. Elit politik yang lahir dari rahim perjuangan kini sibuk memperpanjang kontrak bisnis, berbagi kursi kekuasaan, dan mengamankan kepentingan pribadi. Seolah darah puluhan ribu syuhada Aceh hanyalah batu loncatan untuk menukar baju perang dengan jas mahal dan kendaraan mewah.

Sejarah seakan berulang. Jika Panglima Tibang dahulu membelot ke Belanda dan menyerang bangsanya sendiri, maka hari ini pengkhianatan hadir dalam rupa kompromi, dalam diam yang panjang, dalam tawa di meja perundingan tanpa hasil. Tibangisme hidup kembali, hanya wajahnya kini berbalut demokrasi dan pembangunan.

Dan rakyat? Mereka tetap menanggung luka. Kemiskinan Aceh masih yang tertinggi di Sumatera. Generasi mudanya masih berbondong-bondong merantau karena tanah sendiri tak memberi harapan. Perdamaian yang dijanjikan bagai hujan sejuk setelah perang, ternyata hanya gerimis yang cepat kering di tengah terik kenyataan.

Hari ini, pertanyaannya tinggal satu: siapa yang layak diberi cap jempol “Panglima Tibang”? Bukan sekadar satu nama atau satu kelompok, melainkan siapa pun yang menjual marwah Aceh demi kenyamanan kursi dan perutnya sendiri.

Aceh tidak pernah melupakan pengkhianatan. Nama Panglima Tibang terus dikenang, bukan sekadar sebagai sosok, tetapi sebagai simbol peringatan bahwa marwah bangsa bukan untuk diperdagangkan. Dan jika damai ini hanya melahirkan generasi Tibang baru, maka sejarah akan kembali menulisnya dengan tinta yang sama: pengkhianat tak akan pernah diberi ampun. [hb]