Picu 5.626 Kasus Keracunan, CISDI Desak Presiden Prabowo Moratorium Total Program Makan Bergizi Gratis

Daftar Isi

Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (19/9/2025). (Foto: HO-CISDI).
Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (19/9/2025). (Foto: HO-CISDI).

Picu 5.626 kasus keracunan, CISDI desak Presiden Prabowo moratorium total program Makan Bergizi Gratis (MBG).

koranaceh.net | Jakarta – Lembaga riset Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan sementara (moratorium) program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara menyeluruh. Desakan ini disuarakan menyusul temuan sedikitnya 5.626 kasus keracunan makanan yang dialami siswa dan guru di 17 provinsi sejak program ini diluncurkan pada Januari 2025.

Dalam konferensi pers di Jakarta, pada Jumat (19/9/2025), Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, menyatakan bahwa ribuan kasus keracunan ini adalah alarm darurat yang mengindikasikan program ambisius tersebut dijalankan secara terburu-buru tanpa tata kelola yang matang.

“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target masif itu, program MBG dilaksanakan terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah, dikutip dari keterangan resminya, Minggu (21/9/2025).

CISDI mencatat, data 5.626 kasus keracunan tersebut dikumpulkan dari pemantauan pemberitaan media dan pernyataan resmi dinas kesehatan di berbagai daerah. Angka ini, menurut Diah, ibarat fenomena puncak gunung es karena pemerintah hingga kini belum menyediakan dasbor pelaporan publik yang transparan. Beberapa insiden bahkan ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena melumpuhkan kegiatan belajar-mengajar dan membebani keuangan pemerintah daerah untuk biaya perawatan.

Beban ini diperparah dengan kondisi fiskal daerah yang tertekan akibat pemotongan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 sebesar 24,7 persen, dari Rp 864,1 triliun pada 2025 menjadi Rp 650 triliun.

Lebih jauh, CISDI mengkritik keras landasan hukum program yang dinilai sangat lemah. Setelah berjalan delapan bulan, program yang dikoordinasikan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum memiliki Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum utama. Ketiadaan regulasi ini menyebabkan ketidakjelasan dalam koordinasi antarlembaga, hubungan pusat-daerah, serta standar keamanan pangan.

Dampak dari lemahnya pengawasan ini tidak hanya kasus keracunan. CISDI juga menemukan maraknya produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula dalam menu MBG di banyak sekolah.

“Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu obesitas pada anak. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.

Akuntabilitas program triliunan rupiah ini juga dipertanyakan. Dari total alokasi APBN 2025 sebesar Rp 71 triliun, serapannya per September baru mencapai Rp 13,2 triliun atau 18,6 persen. Isu risiko korupsi juga menguat, sebagaimana laporan Transparency International Indonesia yang menemukan beberapa menu MBG nilainya tidak mencapai standar rata-rata Rp 10.000 per porsi.

Oleh karena itu, CISDI menuntut pemerintah untuk segera melakukan moratorium total guna melakukan evaluasi menyeluruh. Klaim pemerintah bahwa program dapat diperbaiki sambil berjalan dinilai telah gagal. Desakan ini dianggap semakin urgen mengingat pemerintah berencana menaikkan anggaran MBG secara drastis menjadi Rp 335 triliun dalam RAPBN 2026.

“Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita kembali menjadi korban keracunan akibat program yang direncanakan dan dijalankan tanpa perhitungan matang,” tutup Diah. [*]