Sejarah Aceh: Antara Janji yang Jahat dan Kepercayaan yang Bodoh

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Aceh selalu terjebak di persimpangan: antara tipu muslihat penguasa dan kepercayaan rakyat yang naif, luka lama terus diwariskan.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Sejarah Aceh adalah kisah panjang tentang janji-janji yang diucapkan dengan penuh kelicikan, dan kepercayaan yang diberikan dengan ketulusan namun sering berujung luka.

Dalam dialektika antara “jahat” dan “bodoh”, kita belajar bahwa kebodohan bisa sama merusaknya dengan kejahatan, karena keduanya menghancurkan masa depan dengan cara yang berbeda. 

Aceh sudah terlalu sering menjadi saksi: kolonial Belanda yang mengumbar kekuatan dengan tipu muslihat Snouck Hurgronje; Jepang yang menjadikan rakyat sebagai romusha; hingga Soekarno yang meninabobokan para ulama dengan janji syariat dan otonomi yang tak pernah ditepati. 

Dari Daud Beureueh yang merasa ditipu hingga lahirnya perang berjilid-jilid di Tanah Rencong, semuanya memperlihatkan satu pola: politik yang lahir dari kelicikan bertemu dengan kepercayaan yang naif, dan rakyat Aceh selalu menjadi pihak yang paling menderita.

Scherer, Snouck, dan Politik Jahat

Pada 12 Juli 1896, G. Scherer, anggota Dewan Pemerintah Belanda, mengajukan nota kepada pemerintah kolonial agar melepaskan Aceh. Alasannya sederhana dan rasional: setelah 25 tahun perang, Belanda belum juga mampu menundukkan Aceh, sementara biaya dan korban terus membengkak. Itu suara logika, suara yang sadar akan keterbatasan.

Namun, sehari kemudian, Snouck Hurgronje menentang nota itu. Ia menulis kepada Gubernur Jenderal Jhr Van der Wijck bahwa Belanda justru harus menunjukkan dominasi dan tidak mundur selangkah pun. Snouck cerdas, tapi licik. Ia tahu perang hanya akan melahirkan lebih banyak korban, tetapi justru di situlah kekuasaan kolonial dipertahankan. 

Apakah Snouck jahat atau bodoh? Ia jelas bukan bodoh—ia terlampau paham politik. Tapi justru karena kecerdasannya dipakai untuk menipu dan menindas, ia menjadi simbol kejahatan yang berbalut kecerdikan.

Dari Belanda ke Jepang, dari Jepang ke Republik

Aceh tidak pernah benar-benar tunduk. Belanda terus dikejar seperti tikus got, banyak tentaranya ditenggelamkan ke sungai. Lalu Jepang datang, membawa kerja paksa, lalu dikalahkan Sekutu. Kekosongan kuasa itu dimanfaatkan Soekarno dan kawan-kawan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Namun, di balik proklamasi itu, ada paradoks: kerjasama dengan Jepang, keterlibatan dalam sistem romusha, hingga janji-janji yang tidak pernah ditepati pada para pemimpin lokal. Tahun 1952, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia—bukan gratis, melainkan dengan syarat negeri muda ini harus membayar triliunan gulden untuk aset kolonial.

Pertanyaannya: kemana Aceh sebagai negara berdaulat yang pernah berdiri gagah sebelum 1873? Jawaban itu sebagian bisa kita arahkan ke Tgk. Daud Beureueh.

Daud Beureueh: Naif atau Dikhianati?

Sebagai Ketua PUSA, Daud Beureueh percaya pada janji Soekarno. Ia mengerahkan rakyat Aceh mendukung Republik dengan darah dan doa, bahkan menyerahkan emas-emas Aceh untuk membeli pesawat pertama RI. Namun janji Soekarno untuk memberikan ruang syariat dan otonomi hanya tinggal kata.

Kekecewaan itu akhirnya meledak dalam pemberontakan DI/TII. Maka pertanyaan reflektifnya: apakah Daud Beureueh bodoh karena terlalu percaya, ataukah Soekarno jahat karena dengan sadar mengkhianati janji? Sejarah mungkin menjawab: keduanya benar. Kebodohan menerima janji palsu sama berbahayanya dengan kejahatan yang menciptakan janji itu.

Perang yang Tak Kunjung Usai

Sejak Belanda menyatakan perang di Aceh, sejarah berdarah tak pernah benar-benar berhenti. Dari pembantaian Cumbok yang menghabisi para uleebalang, perang DI/TII, hingga perang Aceh Merdeka (1976–2005), Tanah Rencong terus menjadi ladang pertempuran. MoU Helsinki tahun 2005 seolah memberi harapan, tetapi janji-janji dalam perjanjian itu pun belum sepenuhnya ditepati.

Kekuasaan politik lokal di Aceh pasca-Helsinki pun kerap terjebak dalam kebodohan yang sama: gagal mengartikulasikan kepentingan rakyat, sibuk dalam konflik internal, dan lupa pada amanat sejarah. Maka pertanyaan klasik itu kembali menghantui: dalam hubungan Aceh–Indonesia hari ini, siapa sebenarnya yang lebih bodoh dan siapa yang lebih jahat?

Jangan Lagi Mengulang

Sejarah Aceh menunjukkan bahwa kejahatan yang cerdas dan kebodohan yang tulus sama-sama membawa malapetaka. Snouck adalah contoh kejahatan yang licik. Daud Beureueh adalah simbol kebodohan sekaligus ketulusan yang dikhianati. Soekarno adalah potret pemimpin visioner yang tega melanggar janji. Dan rakyat Aceh adalah saksi sekaligus korban dari semua pertarungan itu.

Kini, setelah lebih dari satu abad perang dan luka, pelajaran itu seharusnya jelas: jangan lagi menyerahkan masa depan pada janji yang jahat, atau pada kepercayaan yang bodoh. Karena bila sejarah hanya diulang, maka Aceh akan terus berada di persimpangan yang sama: menjadi korban kebodohan sekaligus kejahatan.