Aceh dan Palestina: Dua Negeri yang Terlalu Percaya

Daftar Isi

Hamdan Budiman
* Pemred Koran Aceh
Dan kepercayaan yang tak disertai kesadaran, hanya akan menuntun kita — seperti Aceh dan Palestina — menjadi bangsa yang menang di atas kertas, tapi kalah di dalam ingatan.
koranaceh.net | Editorial ‒ Sejarah terkadang tidak berulang — ia hanya berganti nama. Dan di antara lembar-lembar abad yang berdarah, kita menemukan dua kisah yang berjalan sejajar: Aceh dan Palestina. Dua bangsa yang percaya pada janji, dan dikhianati oleh tangan yang mereka sambut dengan persaudaraan.

Sebelum Indonesia lahir, Aceh sudah merdeka. Traktat London 1824 menegaskan kedaulatannya — negeri Islam di ujung Sumatera itu diakui dunia sebagai kerajaan bebas yang tak boleh diganggu oleh kekuasaan kolonial mana pun.

Namun seperti Palestina, Aceh kemudian menjadi korban perjanjian yang diingkari. Belanda datang dengan dalih peradaban, meruntuhkan istana, membakar masjid, dan menulis ulang sejarah dengan darah.

Tahun 1948, ketika Indonesia baru berdiri di atas luka, Soekarno datang ke Aceh memohon dukungan. “Bergabunglah, karena kita satu daratan, satu bangsa, satu masa depan.” Ulama dan tokoh Aceh menolak, karena mereka tahu Aceh sudah berdaulat. Tapi Daud Beureueh, yang sangat mencintai persatuan umat, membuka pintu itu — bukan karena tunduk, tapi karena percaya.

Dari kepercayaan itulah lahir pesawat pertama Indonesia, RI Seulawah 1, yang dibeli dengan emas rakyat Aceh untuk membuktikan bahwa Republik ini hidup dan sah di mata dunia. Namun kepercayaan itu dibalas dengan pengingkaran. Janji keadilan dan martabat Aceh dikhianati, hingga akhirnya rakyat kembali mengangkat senjata — bukan untuk memisahkan diri, tapi untuk menagih janji yang dilupakan.

Dari perjanjian Daud Beureueh dan Soekarno, lahir luka bernama Ikrar Lamteh, lalu berlanjut menjadi perang yang panjang, hingga perdamaian di MoU Helsinki 2005. Tapi bahkan setelah semua tinta dan darah itu kering, Aceh masih mencari makna kata “adil” dalam kamus republik yang ia bantu lahirkan.

Begitu pula dengan Palestina — negeri yang dulu menyambut saudara-saudara Yahudi yang terusir dari Eropa, memberi mereka tempat berteduh atas nama kemanusiaan. Namun dari tanah yang diberikan atas nama kasih, tumbuh negara yang menindas atas nama sejarah.

Deklarasi Belfour 1917 menjadi awal dari tragedi itu, ketika Inggris menjanjikan tanah Palestina bagi kaum Yahudi tanpa bertanya kepada pemiliknya. Dari surat sepihak itu lahirlah penjajahan paling panjang abad ini — di mana peluru menggantikan diplomasi, dan tembok menggantikan kepercayaan.

Aceh dan Palestina, dua nama di dua benua, tapi dengan nasib yang sama: dikhianati oleh perjanjian yang ditulis indah dan dilanggar tanpa rasa bersalah. Keduanya pernah percaya pada janji kemanusiaan, pada persaudaraan, pada kata “adil” yang ternyata hanya indah di pidato, tapi hancur di medan kenyataan.

Kini, Aceh dan Palestina sama-sama berdiri di atas puing sejarah. Aceh dengan luka perjanjian yang disalahgunakan, Palestina dengan tanah yang dikoyak oleh keserakahan. Maka, marilah kita bertanya dalam hati: Apakah kita akan terus mengulang kisah bangsa yang terlalu mudah percaya, atau mulai belajar menjaga martabat dari tangan yang gemar berjanji tapi tak pernah menepati?

Sebab sejarah telah mengajarkan, pengkhianatan selalu lahir dari perjanjian yang ditandatangani tanpa kejujuran. Dan kepercayaan yang tak disertai kesadaran, hanya akan menuntun kita — seperti Aceh dan Palestina — menjadi bangsa yang menang di atas kertas, tapi kalah di dalam ingatan.[]