Emas, Gas, dan Luka Aceh: Membaca Ulang Kutukan Sumber Daya Alam

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Tanah Aceh menanggung paradoks: emas di perut bumi, kemelaratan di atas tanahnya.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Aceh adalah tanah yang penuh paradoks. Di bawah perut buminya tersimpan emas, gas, dan hasil hutan yang melimpah, tetapi di atas tanahnya rakyat hidup dalam kemiskinan dan luka sejarah. Dari Portugis, Belanda, hingga Republik Indonesia, kekayaan alam Aceh selalu menjadi rebutan. Apa yang mestinya menjadi berkah, justru berubah menjadi kutukan: sumber konflik, perampasan, dan kesenjangan. 

Kini, ketika tambang ilegal dan kerusakan hutan kembali mengancam, pertanyaan getir pun mengemuka — apakah Aceh mampu membalik kutukan sumber daya alam menjadi anugerah bagi rakyatnya sendiri?

Aceh adalah tanah yang diberkahi sekaligus dikutuk. Tuhan telah menjanjikan bumi Serambi Mekkah ini dengan kekayaan yang melimpah: emas, gas, minyak, hutan, dan laut yang subur. Tetapi, sebagaimana dikatakan Hasan Tiro, proklamator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), anugerah itu sekaligus menjadi sebab datangnya penjajah.

Portugis pernah mencoba menaklukkan Aceh. Belanda kemudian menghabiskan waktu puluhan tahun berperang untuk menguasainya. Dan kini Aceh berada dalam pelukan Republik Indonesia yang sejak 4 Desember 1976 dipandang oleh GAM sebagai kekuatan penjajah baru.

Kutukan sumber daya alam memang bukan mitos. Tom Lembong―mantan menteri perdagangan yang pernah dituduh korupsi dalam kasus gula impor lalu diampuni melalui amnesti Presiden Prabowo―pernah mengingatkan bahwa Indonesia sulit maju karena terlena dengan limpahan kekayaan alamnya. Sumber daya yang melimpah membuat negara-negara seperti Indonesia, Nigeria, dan Venezuela justru terjebak dalam konflik, ketergantungan, serta kegagalan membangun industri yang tangguh.

Sebaliknya, negara dengan sumber daya terbatas, seperti Jepang, Singapura, atau Korea Selatan, mampu melompat menjadi negara maju karena dipaksa mengandalkan ilmu pengetahuan, kreativitas, dan ketekunan.

Aceh adalah cerminan kecil dari kutukan itu. Dari masa kolonial hingga era modern, sumber daya alam Aceh selalu menjadi magnet kekuatan luar. Gas alam Arun yang pada dekade 1970–1990-an menjadi salah satu pemasok devisa terbesar Indonesia, tidak membuat Aceh makmur. Justru rakyatnya menanggung luka panjang: perampasan lahan, kemiskinan struktural, hingga konflik bersenjata berkepanjangan. Di balik gemerlap angka ekspor LNG, rakyat Aceh hanya merasakan perihnya kehilangan tanah, hutan, dan masa depan.

Kini sejarah seperti mengulang dirinya. Tambang emas ilegal, penebangan hutan, dan setoran gelap dari alat berat (ekskavator) di pedalaman Aceh memperlihatkan wajah baru dari kutukan sumber daya alam. Para mafia tambang dan jaringan terstruktur menghisap hasil bumi Aceh tanpa memberi manfaat bagi rakyat. Kekayaan alam kembali menjadi sumber petaka: banjir, longsor, kerusakan lingkungan, dan maraknya praktik korupsi.

Dalam situasi yang sudah puluhan tahun, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, yang akrab dipanggil Mualem, tampak mencoba menulis sejarah baru. Ultimatumnya terhadap para penambang emas ilegal untuk menghentikan aktivitas dan menarik alat berat dari hutan Aceh dalam dua minggu adalah langkah berani. Bersama satgas penertiban, Mualem berusaha membuktikan bahwa kutukan sumber daya alam bisa dihindari jika ada kepemimpinan yang tegas dan berpihak pada rakyat.

Namun pertanyaan besarnya tetap menggantung: apakah langkah ini cukup untuk memutus lingkaran kutukan sumber daya alam di Aceh? Ataukah ia hanya menjadi jeda kecil sebelum babak baru eksploitasi kembali berlangsung dengan wajah yang berbeda?

Aceh memiliki peluang untuk membalik kutukan menjadi berkah. Caranya adalah dengan menjadikan kekayaan alam bukan sebagai komoditas yang dijual mentah-mentah, tetapi sebagai modal untuk membangun ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemandirian ekonomi. Selama Aceh terus menaruh harapan pada kekayaan alam tanpa membangun manusianya, kutukan itu akan tetap hidup.

Sejarah Aceh mengingatkan kita bahwa tanah ini terlalu mulia untuk terus dijadikan ladang eksploitasi. Kutukan sumber daya alam bukanlah nasib, melainkan pilihan. Aceh bisa memilih untuk membebaskan diri darinya—atau kembali menjadi saksi dari sebuah ramalan lama: kekayaan besar yang justru membawa kemelaratan bagi rakyatnya.