Investor: Cerita Lama yang Tak Pernah Usai
Daftar Isi
Penulis:
Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh
Jika Mualem mampu membuktikan bahwa kali ini berbeda — bahwa MoU bukan lagi sekadar momentum simbolik — maka ia tak hanya mencatat sejarah baru, tetapi juga menutup bab lama tentang “investor yang tak pernah datang.”
koranaceh.net | Editorial ‒ Cerita tentang mengundang investor ke Aceh, tampaknya telah menjadi kisah
yang terus diulang dari masa ke masa — seperti piringan hitam yang berputar
tanpa pernah berpindah nada.
Sejak era Syamsuddin Mahmud di awal tahun 1990-an, ketika Aceh
digadang-gadang akan memiliki pabrik elektronik di Pulau Aceh, hingga zaman
Irwandi Yusuf – Nazar (2009) yang melanglang buana ke Turki, Rusia, Korea
Selatan, hingga India — semuanya membawa semangat besar untuk “mengundang
investor”. Namun, hasilnya? Nyaris nihil.
Baca Juga:
Setiap periode pemerintahan selalu hadir dengan narasi baru: Aceh akan
menjadi pusat industri, Aceh akan menjadi poros ekonomi maritim, atau Aceh
siap menjemput investasi asing. Tapi nyatanya, Aceh tetap menjadi penonton
di panggung ekonomi nasional.
Maka muncul pertanyaan yang mulai menjadi bisik-bisik publik: Apakah
“mengundang investor” itu benar-benar upaya membangun ekonomi, atau hanya
modus lama bertamasya dengan biaya pajak rakyat?
Sementara itu, di sisi lain, dana daerah Aceh—yang seharusnya bisa memutar
ekonomi lokal—justru mengendap di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat
Bank Indonesia (SBI). Nilainya bukan kecil, lebih dari Rp 8 triliun.
Ironisnya, pejabat sibuk berbicara investasi luar negeri, namun dana rakyat
sendiri diinvestasikan ke luar daerah untuk mencari margin keuntungan.
Margin itu, tentu saja, tak turun ke sawah dan ladang rakyat; ia berhenti di
ruang-ruang direksi bank daerah yang juga diisi oleh pejabat-pejabat
pemerintahan. Di titik ini, kebijakan baru Menteri Keuangan Purbaya patut
diapresiasi — melarang dana pemerintah daerah menganggur di BI hanya untuk
mengejar bunga.
Kebijakan ini sederhana tapi mengandung pesan moral yang dalam: uang rakyat
seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan untuk memperkaya pejabat bank. Namun
pertanyaan lain muncul kembali: Apakah kali ini Aceh benar-benar siap
menjadi tanah investasi, atau sekadar mengulang drama yang sama dengan
naskah yang diperbarui?
Baca Juga:
Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), tampak gagah tampil di hadapan
para investor Cina dan negara-negara ASEAN dalam ajang China (Henan)-ASEAN
Food and Agricultural Cooperation Development Conference 2025 di Zhengzhou.
Dengan penuh keyakinan ia menyebut bahwa potensi migas Aceh adalah yang
terbesar setelah Timur Tengah, dan bahwa emas Aceh enam kali lebih banyak
daripada Papua.
Pernyataan ini menggugah semangat, namun juga menyisakan rasa
deja vu. Aceh memang kaya sumber daya, tapi sejarah telah membuktikan
bahwa kekayaan alam tidak otomatis membawa kesejahteraan — justru sering
kali menjadi kutukan sumber daya yang mengikat Aceh dalam lingkaran harapan
dan kekecewaan.
Di forum itu, Mualem menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) antara PT
Pembangunan Aceh (PEMA) dan Zhongke Holdings Green Technology Co., Ltd dari
Henan, Tiongkok. Kerja sama ini berfokus pada pembangunan kawasan industri
unggas dan telur berteknologi tinggi — proyek yang digadang-gadang sebagai
langkah konkret menuju kemandirian pangan Aceh dan pembuka lapangan kerja
baru.
Langkah ini tentu layak diapresiasi. Setidaknya, Aceh mencoba berpindah dari
wacana ke tindakan nyata. Namun, publik Aceh berhak berharap lebih: agar MoU
itu tidak berakhir seperti tumpukan berkas yang tersimpan rapi di lemari
birokrasi.
Baca Juga:
Mualem tampak berani menggaungkan kembali harapan investasi. Ia menyebut
bahwa posisi geografis Aceh yang strategis — di jalur pelayaran
internasional dan pintu gerbang barat Indonesia — adalah peluang besar bagi
mitra asing.
“Kemitraan ini menawarkan gerbang strategis menuju pasar Indonesia dan ASEAN
yang lebih luas bagi para mitra dari Tiongkok,” ujarnya optimistis.
Optimisme ini tentu penting. Namun, pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa
investor tidak hanya datang karena potensi, tetapi karena kepastian hukum,
integritas, dan profesionalisme birokrasi.
Selama ketiganya belum menjadi budaya dalam pemerintahan Aceh, maka setiap
konferensi investasi hanya akan menjadi ajang pidato yang bergema dalam
ruang rapat hotel, bukan di pabrik, pelabuhan, atau lahan produksi rakyat.
Aceh tidak kekurangan kekayaan, tapi mungkin masih kekurangan kesungguhan.
Jika Mualem mampu membuktikan bahwa kali ini berbeda — bahwa MoU bukan lagi
sekadar momentum simbolik — maka ia tak hanya mencatat sejarah baru, tetapi
juga menutup bab lama tentang “investor yang tak pernah datang.”
❖