Izin Tambang, Oligarki, dan Pengkhianatan terhadap Aceh

Daftar Isi

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Kini bola ada di tangan Muzakir Manaf, sebagai Gubernur Aceh. Ia tidak cukup hanya menertibkan tambang ilegal. Tambang “legal” yang bermasalah pun harus dievaluasi, terutama yang izinnya dikeluarkan di masa transisi kekuasaan..
koranaceh.net | Editorial ‒ Isu tambang kembali mencuat di Aceh. Di tengah janji transparansi dan tata kelola yang bersih, izin-izin tambang justru semakin meluas. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, diminta tidak hanya menertibkan tambang ilegal, tapi juga mengevaluasi yang legal. Sebab, pada masa penjabat sebelumnya, Ahmad Marzuki dan Bustami Hamzah, izin usaha pertambangan (IUP) seolah diobral tanpa kendali.

Salah satu yang paling disorot adalah perpanjangan izin PT Mifa Bersaudara, perusahaan tambang batubara raksasa di Aceh Barat. IUP perusahaan itu diperpanjang hingga 2035—bahkan sebelum izin sebelumnya habis pada 2025. Keputusan ini bukan sekadar tergesa-gesa; ia menimbulkan kecurigaan politik. Publik menduga, perpanjangan izin ini dibarter dengan dukungan politik bagi Bustami Hamzah—yang kemudian maju sebagai calon Gubernur Aceh pada kontestasi Pilkada Aceh 2024 lalu.

Pansus Pertambangan DPR Aceh mencatat, sepanjang 2024 Pemerintah Aceh menerbitkan 14 IUP. Sembilan di antaranya keluar hanya dalam lima bulan masa jabatan Bustami Hamzah sebagai penjabat gubernur. Sebelumnya, 12 izin juga telah diterbitkan di masa Ahmad Marzuki.

Fenomena ini mengindikasikan pola lama: tambang bukan lagi sekadar sumber ekonomi, tapi juga sumber dana politik. Seperti dikatakan anggota DPR RI Herman Khaeron, tambang ilegal—dan kini juga legal—sering dijadikan mesin pendanaan untuk pilkada. Aceh tak terkecuali.

Bustami Hamzah, dalam waktu singkat, mengesahkan izin yang semestinya menunggu evaluasi lingkungan. PT Mifa Bersaudara, misalnya, diperpanjang tanpa audit lingkungan yang memadai, meski dampak sosial-ekologinya telah dirasakan masyarakat selama lebih dari satu dekade.

Warga Menanggung Debu, Penguasa Menikmati Batu Bara

Sejak PT Mifa beroperasi di Aceh Barat, debu batubara telah menjadi “musim tetap” bagi warga Gampong Peunaga Cut. Sekitar 500 kepala keluarga hidup di tengah polusi udara, air, dan penurunan pendapatan. Bukannya memperjuangkan hak warga, pemerintah justru memperpanjang izin korporasi yang terbukti abai terhadap lingkungan.

Yang lebih parah, PT Mifa kerap menanggapi kritik dengan laporan polisi. Dari wartawan BIMC Media, mantan karyawan, hingga warga yang protes—semuanya pernah dilaporkan. Pola ini menyerupai praktik SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation)—gugatan hukum yang digunakan untuk membungkam kritik publik. Ketika perusahaan menganggap kritik sebagai ancaman, dan negara diam, demokrasi lokal berada di ujung tanduk.

Masalah tidak berhenti di Aceh Barat. Di Nagan Raya, PT Mifa diduga menambang di luar konsesi resmi, tepatnya di Gampong Paya Udeung. DPRK Nagan Raya bahkan merekomendasikan penyegelan lokasi. Namun, sampai kini, aktivitas tetap berjalan. Pengawasan tambang di Aceh seolah hanya formalitas di atas kertas.

Saat ini, pemerintah pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto justru sedang gencar menertibkan tambang ilegal di berbagai daerah. Namun di Aceh, praktik tambang “semi-legal” masih tumbuh di bawah perlindungan birokrasi.

***

Kini bola ada di tangan Muzakir Manaf, sebagai Gubernur Aceh. Ia tidak cukup hanya menertibkan tambang ilegal. Tambang “legal” yang bermasalah pun harus dievaluasi, terutama yang izinnya dikeluarkan di masa transisi kekuasaan.

Evaluasi bukan hanya soal administrasi, tetapi soal moral dan keberpihakan. Jika izin-izin itu terbukti cacat prosedur, penuh kepentingan politik, dan mengabaikan hak rakyat, maka pencabutan harus menjadi opsi.
Aceh tidak boleh kembali pada pola lama: kekayaan alam dijarah, rakyat menanggung luka.

Perpanjangan izin PT Mifa Bersaudara adalah simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat Aceh. Ia menunjukkan betapa kekuasaan bisa dibarter dengan sumber daya alam. Jika pola ini terus dibiarkan, Aceh akan kehilangan kendali atas tanah dan masa depannya sendiri.

Sudah saatnya pemerintah menegakkan keberpihakan sejati: berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi. Tambang boleh menjanjikan kemakmuran, tetapi tanpa keadilan dan pengawasan, yang tersisa hanya lubang-lubang bekas eksploitasi—dan masyarakat yang semakin miskin di atas tanahnya sendiri.