Kegelapan yang Berulang: Pusat Tak Memihak, Elit Aceh Tak Melawan

Daftar Isi
Ilustrasi. (Foto: iStock.com).
Ilustrasi. (Foto: iStock.com).
Aceh terang-gelap bagai janji politik: pusat abai, elit lokal lalai. Potensi energi besar, tapi yang menyala hanya ketergantungan.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Sejak Senin sore, Aceh kembali gelap. Pemadaman listrik serentak yang melanda seluruh provinsi ini memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi energi kita. Kerapuhan itu berpangkal pada ketergantungan Aceh terhadap sistem interkoneksi Sumatera Utara.

Begitu pasokan dari Sumut terganggu, Aceh pun lumpuh tanpa daya. Pertanyaan yang mengemuka: apakah ini buah dari politik energi pusat yang abai, ataukah karena elit Aceh sendiri yang tidak memahami urgensi kemandirian energi?

Kekhawatiran sesungguhnya bukan hal baru. Pada 14 Maret 2002, Ir. Faizal Ardiansyah, seorang pengamat kelistrikan, menulis opini di Serambi Indonesia. Ia memperingatkan betapa rentannya Aceh tanpa pembangkit mandiri.

Saat itu, konflik bersenjata kerap melumpuhkan menara interkoneksi dan Aceh pun tenggelam dalam kegelapan. Tulisan Faizal adalah semacam nubuat: jika Aceh tidak punya pembangkit sendiri, masa depan energinya akan terus bergantung pada daerah lain.

Krisis listrik 2002 bahkan menghadirkan ironi sejarah. Aceh kala itu harus “meminjam” PLTD Apung dari Pontianak. Siapa sangka, kapal pembangkit itu kemudian menjadi monumen bisu ketika tsunami 26 Desember 2004 melanda Banda Aceh. Energi, dalam konteks Aceh, bukan sekadar soal lampu yang menyala, melainkan simbol nasib yang sering ditentukan faktor eksternal.

PLTU Nagan Raya: Politik Energi Pusat vs. Lemahnya Elit Lokal

Ketika PLTU Nagan Raya digagas, publik Aceh sempat bernafas lega. Dua unit berkapasitas total 2×110 MW diproyeksikan menopang kemandirian listrik Aceh. Pada 2014, bahkan Dahlan Iskan—saat menjabat Menteri BUMN—menegaskan bahwa jika kedua unit beroperasi penuh, Aceh bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri, tapi juga bisa menyuplai listrik keluar daerah.

Namun kenyataannya, janji tinggal janji. Proses uji coba berulang kali gagal. Satu unit berjalan setengah hati, unit lainnya tersendat karena perbaikan tak kunjung rampung. Baru-baru ini, Manager Komunikasi PLN Aceh, Lukman Hakim, kembali mengumumkan kabar “turbin rolling” yang masih on track, sembari memohon doa masyarakat agar kali ini berhasil. Pernyataan itu menyiratkan kegamangan: setelah bertahun-tahun, kita masih menunggu kapan listrik benar-benar stabil.

Mengapa Aceh terus berada di posisi marginal dalam peta energi nasional? Apakah pusat memang tidak memihak? Atau elit Aceh gagal memperjuangkan kepentingan daerahnya?

Politik energi nasional cenderung Jawa-sentris. Infrastruktur besar, jaringan transmisi, hingga investasi kerap diarahkan ke wilayah yang dianggap strategis bagi ekonomi nasional. Aceh, meski kaya sumber daya alam, lebih sering diposisikan sebagai pemasok bahan mentah daripada sebagai wilayah prioritas pembangunan pembangkit modern. Dari sisi ini, jelas pusat tidak sepenuhnya berpihak.

Namun elit Aceh juga tidak bisa lepas tangan. Selama dua dekade terakhir, isu kemandirian energi jarang dijadikan agenda politik serius. Banyak politisi lebih sibuk dengan kursi kekuasaan dan proyek jangka pendek, alih-alih menyusun roadmap energi Aceh yang jelas. Gagasan membangun pembangkit besar—baik gas, panas bumi, hidro, maupun energi terbarukan—berhenti sebagai wacana tanpa eksekusi.

Pelajaran dari Kegelapan

Padahal, Aceh memiliki modal besar untuk mandiri: cadangan panas bumi di Seulawah dan Beutong, gas Arun yang pernah mendunia, potensi hidro di hulu sungai, bahkan energi surya di pedalaman. Jika dikelola dengan visi politik berjangka panjang, Aceh tidak hanya bebas dari pemadaman, tetapi juga bisa menjadi lumbung energi Sumatera. Sayangnya, modal itu tertinggal oleh tarik-menarik kepentingan politik dan lemahnya daya tawar elit Aceh di Jakarta.

Setiap kali listrik padam, kita seolah kembali membaca nubuat lama: Aceh masih bergantung pada orang lain. Dua puluh tiga tahun sejak peringatan Faizal Ardiansyah, kondisi itu hampir tak berubah.

Maka jawabannya mungkin bukan “politik pusat abai” atau “elit Aceh tidak paham”, melainkan keduanya. Politik pusat yang tak berpihak, ditambah elit lokal yang tak melawan, sama-sama mewariskan kegelapan. Jika pola ini tidak berubah, lampu Aceh akan terus menyala-mati, persis seperti komitmen politik energi yang tak pernah konsisten.


Gambar Profil

Pemred Koran Aceh:

Hamdan Budiman