Koperasi Kini Bisa Kelola Tambang hingga 2.500 Hektare, Pemerintah Buka Akses di Sektor Minerba
Daftar Isi
|
|
| Menteri Koperasi dan UKM Ferry Juliantono. (Foto: Kemenkop). |
Pemerintah beri izin koperasi kelola tambang hingga 2.500 hektare lewat PP 39/2025, menuai apresiasi dan peringatan soal risiko.
koranaceh.net | Jakarta –
Pemerintah resmi membuka peluang bagi koperasi untuk mengelola tambang mineral
dan batu bara (minerba) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025
tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021 mengenai Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Kebijakan ini menjadi tonggak baru dalam
sejarah ekonomi kerakyatan di Indonesia. Sebab, untuk pertama kalinya koperasi
diberi hak mengelola lahan tambang hingga seluas 2.500 hektare.
Langkah ini disebut pemerintah sebagai bentuk pemerataan akses ekonomi
nasional. Menteri Koperasi dan UKM, Ferry Juliantono, menyebut aturan baru ini
akan memperluas peran koperasi di sektor strategis yang selama ini didominasi
oleh korporasi besar. “Dengan terbitnya PP tersebut, koperasi sudah bisa
menggarap dan mengelola sektor pertambangan seperti mineral dan batubara,”
kata Ferry dalam keterangan resminya, Selasa (7/10/2025).
Dalam PP 39/2025, pemerintah menambahkan sejumlah pasal baru yang mengatur
mekanisme verifikasi koperasi sebelum memperoleh Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP). Berdasarkan Pasal 26C, verifikasi administratif dan
keanggotaan koperasi dilakukan oleh menteri yang membidangi urusan koperasi.
Hasil verifikasi ini menjadi dasar bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) untuk memberikan persetujuan WIUP melalui sistem Online Single
Submission (OSS), sebagaimana tercantum dalam Pasal 26E. Adapun Pasal 26F
menetapkan bahwa luas WIUP untuk koperasi atau UKM paling besar mencapai 2.500
hektare.
Ferry menambahkan, kebijakan ini diharapkan dapat mewujudkan pemerataan
manfaat sumber daya alam agar tidak hanya dinikmati oleh perusahaan besar.
“Daerah dengan potensi tambang emas, batubara, dan mineral lainnya kini bisa
dikelola juga oleh koperasi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
setempat,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa program pengelolaan sumur minyak rakyat dan tambang
koperasi akan menjadi agenda baru yang dijalankan oleh Koperasi Desa/Kelurahan
Merah Putih. Menurut Ferry, langkah ini menandai babak baru peran koperasi
dalam pembangunan ekonomi nasional. “Kita akan buktikan koperasi bisa masuk ke
sektor-sektor yang selama ini dianggap koperasi tidak mampu,” katanya.
Kementerian Koperasi menyatakan bahwa pemberian izin tambang bagi koperasi
akan dilakukan dengan seleksi ketat dan koordinasi lintas kementerian. Ferry
menjelaskan, kriteria koperasi penerima izin akan diatur melalui peraturan
turunan yang disusun bersama Kemenkop dan Kementerian ESDM. “Masing-masing
kementerian akan punya petunjuk teknis sendiri dari PP tersebut,” ucapnya.
Kendati demikian, kebijakan ini tidak lepas dari kritik kalangan profesional
pertambangan. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi),
Sudirman Widhy, mengingatkan bahwa pengelolaan tambang memerlukan kemampuan
finansial dan teknis yang tinggi.
“Sebuah operasional pertambangan yang baik dan benar memerlukan biaya modal
yang sangat besar, dimulai dari eksplorasi, pemboran, kajian keekonomian dan
lingkungan, hingga penyediaan dana jaminan reklamasi serta penutupan tambang,”
kata Sudirman yang dilansir dari laman resmi
Perhapi, pada Jumat, (10/10/2025).
Ia menilai, tanpa modal dan pemahaman teknis yang memadai, koperasi berisiko
melakukan praktik tambang yang tidak sesuai aturan dan berpotensi merusak
lingkungan. “Kami khawatir jika mindset yang berkembang di sebagian pengelola
koperasi dan UKM masih sebatas menggali dan mengambil bahan galian tanpa
pemahaman teknis, maka dampaknya akan sangat merusak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Perhapi menyarankan agar koperasi tidak langsung menjadi
pemegang izin tambang, melainkan diarahkan untuk berperan sebagai penyedia
jasa penunjang, seperti kontraktor, transportasi, katering, atau layanan
logistik di sekitar tambang. Dengan begitu, sambung Sudirman, koperasi tetap
bisa ikut menikmati hasil ekonomi dari sektor pertambangan tanpa menanggung
risiko besar.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Rully Indrawan, akademisi, peneliti
ekonomi kerakyatan, sekaligus pengamat koperasi ini menyoroti perlunya
transparansi dan kehati-hatian dalam penerapan aturan baru ini.
“Bila keputusan itu sekadar upaya manipulatif segelintir orang untuk
kepentingan pribadi dan menggunakan koperasi sebagai kedok belaka, nggak
usahlah [koperasi mengelola tambang],” kata Rully, dilansir dari
Bisnis.com.
Ia menegaskan perlunya evaluasi kelayakan ideologis dan manajerial koperasi
sebelum diberikan izin tambang. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan bahwa
koperasi benar-benar mewakili kepentingan anggota, bukan sekadar menjadi
kendaraan bisnis kelompok tertentu. “Sebagai mitigasi risiko, sebaiknya ada
upaya untuk menilai kelayakan sebuah koperasi untuk terjun di bidang itu,”
sambungnya.
Dari berbagai sumber yang dihimpun koranaceh.net, Pemerintah mengklaim
telah menyiapkan langkah pengawasan lintas kementerian untuk memastikan
pelaksanaan PP 39/2025 berjalan sesuai prinsip tata kelola yang baik.
Kementerian Koperasi juga berkomitmen untuk mendampingi koperasi agar dapat
mengelola sumber daya tambang secara profesional, transparan, dan
berkelanjutan.
Hingga kini, sejumlah koperasi di beberapa daerah mulai menyatakan minat untuk
mengajukan izin WIUP melalui sistem OSS. Namun, Kementerian ESDM menegaskan
belum ada izin baru yang diterbitkan pasca penerbitan PP tersebut. Pemerintah
berencana membuka tahapan verifikasi administratif koperasi pada kuartal
pertama 2026.
Kebijakan baru ini dipandang sebagai langkah strategis menuju pemerataan
ekonomi berbasis komunitas. Namun, para ahli menilai implementasinya akan
menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan
ekonomi, kemampuan teknis, dan tanggung jawab lingkungan.
❖