Menkeu Ungkap Harga Asli Komoditas Energi, Kritik Mandeknya Proyek Kilang Pertamina
Daftar Isi
![]() |
Tangkapan layar Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9/2025). (Foto: YouTube/TVR Parlemen). |
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membeberkan harga asli BBM dan mengkritik Pertamina karena ketiadaan kilang baru sebagai akar masalah impor.
koranaceh.net |
Jakarta –
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap harga keekonomian
atau harga asli dari sejumlah komoditas energi yang selama ini disubsidi
pemerintah, sekaligus mengkritik tajam PT Pertamina (Persero) atas lambatnya
pembangunan kilang minyak baru.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (30/9/2025),
Purbaya menegaskan ketergantungan besar pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM)
menjadi akar masalah membengkaknya beban subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Pemaparan tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai besarnya
selisih harga yang ditanggung negara demi menjaga daya beli masyarakat.
Purbaya menjelaskan, tanpa intervensi fiskal, harga eceran Pertalite, Solar,
hingga Elpiji 3 kg akan jauh lebih tinggi dari yang dibayarkan konsumen saat
ini.
Ketergantungan pada impor, yang menurutnya mencapai puluhan miliar dolar per
tahun, membuat APBN sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak mentah dunia
dan pelemahan nilai tukar rupiah. Purbaya secara lugas menyatakan frustrasinya
terhadap mandeknya proyek strategis nasional tersebut. Ia mengaitkan langsung
beban subsidi yang terus meningkat dengan kegagalan Indonesia membangun
fasilitas pengolahan minyak domestik selama puluhan tahun.
“Subsidi energi naik terus dari tahun ke tahun. Energinya kan, Pak, kalau itu
namanya BBM kan. BBM, solar, diesel, itu impor. Sudah berapa tahun kita
mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun kan. Kita pernah bangun kilang
baru nggak? Nggak pernah. Sejak krisis sampai sekarang nggak pernah bangun
kilang baru,” tuturnya dalam rapat kerja yang disiarkan langsung di akun
YouTube
TVR Parlemen.
![]() |
Tangkapan layar data harga-harga sejumlah komoditas energi yang disubsidi oleh negara. (Foto: YouTube/TVR Parlemen). |
Berdasarkan data yang dipaparkannya, harga asli Solar sebenarnya mencapai Rp
11.950 per liter. Dengan subsidi sebesar Rp 5.150 per liter (43 persen),
masyarakat dapat membelinya seharga Rp 6.800 per liter. Untuk Pertalite, harga
keekonomiannya adalah Rp 11.700 per liter, namun dijual Rp 10.000 per liter
karena pemerintah menanggung selisih Rp 1.700 per liter. Beban terbesar ada
pada minyak tanah, di mana pemerintah menanggung Rp 8.650 per liter atau 78
persen dari harga asli Rp 11.150 per liter, sehingga harga ecerannya hanya Rp
2.500 per liter.
Di sektor rumah tangga, subsidi untuk tabung Elpiji 3 kg juga signifikan. Dari
harga asli Rp 42.750 per tabung, pemerintah menanggung Rp 30.000 (70 persen),
sehingga harga jualnya di level Rp 12.750 per tabung. Subsidi juga mengalir ke
sektor kelistrikan dan pupuk. Tarif listrik 900 VA disubsidi sebesar Rp 1.200
per kWh (67 persen) dari harga asli Rp 1.800 per kWh. Sementara pupuk NPK
disubsidi hingga Rp 8.491 per kilogram (78 persen) dari harga keekonomian Rp
10.791 per kilogram.
Meskipun menyebut subsidi sebagai bentuk keberpihakan fiskal pemerintah,
Purbaya menyoroti masalah ketidaktepatan sasaran. Ia memaparkan data ihwal
porsi subsidi energi yang masih signifikan dinikmati oleh kelompok masyarakat
sangat mampu.
![]() |
Data dari Kemenkeu RI ihwal subsidi energi dan kompensasi yang belum sepenuhnya tepat sasaran. (Foto: YouTube: TVR Parlemen). |
“Ini bentuk keberpihakan fiskal yang terus dievaluasi agar lebih tepat sasaran
dan berkeadilan. Berdasarkan data Susenas menunjukkan masyarakat sangat mampu
desil 8-10 masih menikmati porsi signifikan dari subsidi energi,” kata
Purbaya.
Sebagai tindak lanjut, ia tidak hanya meminta DPR turut mengawasi kinerja
Pertamina, tetapi juga bakal mengambil tindakan tegas. Purbaya juga menyatakan
perannya sebagai Menkeu kini meluas hingga mengawasi eksekusi proyek BUMN.
Bila tidak ada progres dalam pembangunan kilang, dirinya tak hanya akan
memotong alokasi anggaran, tapi juga mengganti direksi.
“Sampai sekarang kan nggak ada satu pun [kilang baru yang terwujud]. Jadi
Bapak [DPR] tolong kontrol mereka juga,” ucapnya. “Kalau nggak [jalan], kita
potong uangnya juga Pak. Saya kan pengawas, saya ganti aja dirutnya. Artinya
timbal balik,” tegas Purbaya.
Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan
Muntaziruddin Sufiady Ridwan
⸻