Menuju Aceh Singkil Bebas dari Kabupaten Termiskin

Daftar Isi
Ilustrasi. (Foto: koranaceh.net).

Penulis:

Sakinah | Pendidik dan Aktivis Dakwah.

Paradoks Aceh Singkil: Kaya sumber daya, tapi termiskin se-Aceh akibat sistem ekonomi yang timpang.
koranaceh.net | Opini ‒ Jumlah penduduk miskin Kabupaten Aceh Singkil, pada tahun 2024 sebanyak 19,06 persen atau 24.840 jiwa. Hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Angka itu menempatkan Aceh Singkil, sebagai kabupaten termiskin di Provinsi Aceh.

Dilansir dari Serambinews.com, banyaknya penduduk miskin disebabkan berbagai faktor. Mulai dari internal individu maupun faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal meliputi tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, kurangnya akses ke sumber daya, serta sikap dan perilaku yang tidak mendukung peningkatan taraf hidup. Sementara faktor eksternal mencakup kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, kurangnya lapangan pekerjaan, dan kebijakan pemerintah yang kurang efektif dalam mengatasi kemiskinan.

Dalam konteks Aceh Singkil, salah satu faktor internal yang dinilai cukup berpengaruh besar menjadi penyebab kemiskinan adalah sikap dan perilaku yang tidak mendukung peningkatan taraf hidup. Sementara faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah yang kurang efektif dalam mengatasi kemiskinan.

Di sisi lain potensi Aceh Singkil sangat besar, hal ini berkaca dari perkebunan kelapa sawit, perikanan dan pariwisata. Sawit umpamanya, Kabupaten Aceh Singkil menempati urutan nomor 2 terluas di Provinsi Aceh. Data Dinas Perkebunan Aceh Singkil, luas areal kelapa sawit di daerah itu, mencapai 75.834,12 hektar (Ha). Rinciannya 44.483,12 Ha milik perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU).  Sementara luas kebun sawit rakyat mencapai 31.351 Ha.

Sayangnya, hamparan hijau perkebunan sawit itu ternyata hanya menghasilkan paradoks pahit: predikat sebagai kabupaten termiskin se-Aceh. Ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari sebuah sistem yang dirancang untuk mengalirkan keuntungan ke kantong segelintir investor. Dalam skema ini, negara tampak lebih berperan sebagai fasilitator bagi para elite dan kapitalis ketimbang sebagai pelindung rakyat. Maka wajar jika rakyat terus berjuang memenuhi kebutuhan pokok, karena kebijakan yang lahir dari pusat kekuasaan seringkali tuli terhadap suara mereka.

Padahal Islam punya sejumlah mekanisme atau aturan untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, pengaturan kepemilikan yang adil. Islam mengatur kepemilikan harta untuk mencegah penumpukan kekayaan pada segelintir orang.

Karena itu dalam sistem Islam, SDA (sumber daya alam) seperti minyak, gas, tambang dan mineral adalah milik umum (al-milkiyyah al-‘aammah) yang wajib dikelola hanya oleh negara untuk rakyat. Haram dikuasai oleh individu atau korporasi. Namun, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah memperlihatkan sisi gelapnya melalui praktik eksploitasi ekonomi yang terjadi akibat liberalisasi pasar dan privatisasi sumber daya alam.

Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan dan pengelolaan aset-aset strategis seperti minyak, gas, air dan hutan diserahkan kepada individu atau korporasi. Akibatnya, yang terjadi adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang, sementara masyarakat luas justru kehilangan akses terhadap hak-hak ekonominya.

Ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menempatkan sumber daya strategis sebagai milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2004) dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm menegaskan bahwa negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasil dari sumber daya tersebut demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini bertujuan mencegah eksploitasi serta menjamin distribusi kekayaan yang lebih adil dan merata.

Kedua, dalam Islam, mekanisme seperti zakat, infak dan sedekah juga memastikan redistribusi dan pemerataan kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, dalam Islam, setiap lelaki dewasa, terutama yang punya tanggungan keluarga, wajib mencari nafkah. Ini karena al-Quran memerintahkan:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya (TQS ath-Thalaq [65]: 7).

Menurut Imam Ibn Katsir, ayat ini memerintahkan individu untuk memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kapasitasnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 10/45–48).

Rasulullah  saw. juga bersabda:

 مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً اِسْتِعْفَافًا عَنْ مَسْأَلَةٍ، وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ، وَتَعَطُفًا عَلَى جَارِهِ، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ

Siapa saja yang mencari dunia (harta) dengan cara yang halal karena menjaga kehormatan diri dari meminta-minta, untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dan untuk membantu tetangganya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan wajah bagaikan bulan purnama (HR al-Baihaqi).

Di sisi lain, agar setiap orang yang wajib bekerja bisa mendapatkan pekerjaan, maka negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi warganya melalui kebijakan ekonomi berorientasi sektor riil seperti perdagangan, pertanian dan industri.

Keempat: Jaminan kebutuhan dasar oleh negara. Negara dalam Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang dan papan). Negara juga wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warganya. Ini karena pemimpin negara (Imam/Khalifah) dalam Islam bertanggung jawab penuh atas urusan warga negaranya. Rasulullah saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR an-Nasa’i).

Semua mekanisme ini hanya mungkin dilakukan jika negara menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang seharusnya diwujudkan, khususnya di negeri ini.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.