Naifnya Aparat Penegak Hukum dalam Lingkaran Tambang Ilegal di Aceh

Daftar Isi
Hamdan Budiman | Pemred koranaceh.net
Hukum di Aceh ikut menambang emas. Saat aparat jadi pelaku, keadilan tinggal legenda di Tanah Rencong.
koranaceh.net | Editorial ‒ Alangkah naifnya aparat penegak hukum di Aceh yang ikut terlibat dalam praktik tambang ilegal. Mereka yang seharusnya berdiri di garis depan menjaga hukum, justru menjadi bagian dari lingkaran gelap perusak bumi.

Fakta di lapangan menunjukkan, bukan hanya para pengusaha nakal yang menikmati hasil tambang ilegal, tetapi juga oknum aparat yang mestinya menegakkan keadilan.

Laporan Panitia Khusus (Pansus) Tambang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bahkan mencatat, perputaran uang dari tambang ilegal di Aceh mencapai Rp360 miliar per bulan. Jumlah yang fantastis ini belum termasuk dari bisnis solar ilegal, air raksa, dan jaringan penyelundupan lain yang mustahil berjalan tanpa “restu” aparat.

Laporan pansus menyebutkan, oknum aparat menerima “uang haram” hingga Rp 10 juta per alat berat (beko) setiap bulan dari ribuan unit ekskavator yang beroperasi tanpa izin. Uang kotor itu menjadi pelicin agar aktivitas tambang tetap berjalan tanpa hambatan, meskipun jelas-jelas melanggar hukum dan merusak lingkungan.

Tambang ilegal di Aceh bukan sekadar soal eksploitasi alam. Di dalamnya, terselubung dua bisnis haram yang menjadi urat nadi kejahatan tambang: Bisnis solar ilegal, sebagai bahan bakar utama alat berat yang diperoleh dengan cara penyelundupan dan tanpa pajak, merugikan negara dan menambah polusi.

Bisnis air raksa, bahan kimia beracun yang digunakan untuk memisahkan emas, mencemari sungai, merusak ekosistem, dan mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

Kedua bisnis itu dijalankan secara tertutup, sistematis, dan berlapis. Tanpa dukungan aparat, mustahil bisa bertahan lama. Celakanya, hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan justru menjadi tembok pelindung bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Dampaknya bukan hanya kerugian negara atau rusaknya lingkungan, tapi juga perampasan masa depan publik. Sungai-sungai di Aceh bisa berubah warna, tanah kehilangan kesuburan, dan hutan gundul perlahan-lahan berubah menjadi gurun batu.

Padahal, bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan dari generasi yang akan datang. Namun di Aceh hari ini, titipan itu dijarah oleh tangan-tangan yang seharusnya melindunginya. 

Dan selama hukum masih bisa dibeli dengan amplop, keadilan akan tetap menjadi barang langka di Tanah Rencong.