Nasir Djamil Nilai Penanganan Tambang Ilegal di Aceh Perlu Pembenahan Sistemik dan Libatkan Masyarakat
Daftar Isi
Nasir Djamil menilai maraknya tambang ilegal di Aceh sebagai persoalan yang butuh penataan, pengawasan, dan edukasi masyarakat.
    koranaceh.net | Banda
      Aceh ‒
    Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, menilai persoalan tambang
    ilegal di Aceh merupakan bagian dari pekerjaan rumah nasional yang belum
    terselesaikan.
  
  
    “Masalah pertambangan tanpa izin ini sudah menjadi pekerjaan rumah secara
    nasional. Hampir semua provinsi yang kami kunjungi, kami menemukan kasus
    serupa,” ujar Nasir dalam diskusi publik bertema “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal dan Solusinya: Tambang Ilegal, Uang
      Hitam dan Solusinya” di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa (7/10/2025).
  
  
    Diskusi publik itu diinisiasi oleh Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina),
    Aceh Bergerak, dan Forum Jurnalis Lingkungan Aceh (FJLA). Acara tersebut
    mempertemukan unsur pemerintah, legislatif, aparat penegak hukum, dan badan
    usaha daerah.
  
  
    Sejumlah pembicara hadir, di antaranya Kepala Dinas ESDM Aceh Taufik,
    Kapolda Aceh yang diwakili Wadirreskrimsus AKBP Mahmun Hari Sandy Sinurat,
    serta Direktur PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang diwakili Direktur
    Pengembangan Bisnis PT PEMA Naufal Natsir Mahmud. Diskusi dipandu Direktur
    Forbina, Muhammad Nur. Sementara itu, Ketua Pansus Tambang DPRA Anwar Ramli
    dan perwakilannya berhalangan hadir.
  
  
    Dalam forum tersebut, moderator menanyakan pandangan Nasir mengenai langkah
    cepat Pemerintah Aceh dan DPRA membentuk satuan tugas khusus pertambangan
    ilegal, menyusul instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas
    tambang ilegal di seluruh Indonesia.
  
  
    Menanggapi hal itu, Nasir menyebut langkah tersebut sejalan dengan kebijakan
    nasional, namun harus diawasi agar tidak berhenti di tataran seremonial. Ia
    menilai, diskusi publik seperti ini penting untuk menjaga transparansi dan
    mendorong data konkret hasil temuan Pansus Pertambangan Minerba dan Migas
    DPRA agar dipublikasikan.
  
  
    Meski begitu, laporan yang disampaikan pansus dalam rapat paripurna DPRA
    pada Kamis (25/9/2025), sambung Nasir, menunjukkan bahwa aktivitas tambang
    tanpa izin telah meluas, termasuk di wilayah-wilayah dengan tingkat
    kemiskinan tinggi.
  
  
    Ia menyoroti ketimpangan antara kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan
    kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang justru stagnan. Fenomena ini, kata
    Nasir, memperlihatkan hasil tambang belum memberikan manfaat nyata bagi
    masyarakat. Ia juga mengungkapkan informasi yang diperolehnya bahwa
    Kabupaten Pidie menjadi daerah dengan jumlah alat berat tertinggi di Aceh.
  
  
    “Saya mendapat kabar, katanya, yang paling banyak itu di Pidie. Saya kaget
    juga karena itu kampung saya. Saya disuguhkan data, dan dari yang saya baca,
    ada 852 beko di Pidie. Luar biasa itu angkanya,” ucapnya.
  
  
    Nasir menjelaskan, persoalan serupa tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga
    di berbagai provinsi lain di Indonesia. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan
    koordinasi antar instansi membuat praktik tambang tanpa izin terus tumbuh
    dan melibatkan banyak pihak.
  
  
    Oleh sebab itu, kata dia, pembenahan sektor pertambangan tidak bisa hanya
    mengandalkan penindakan jangka pendek, melainkan harus diikuti langkah
    sistemik yang melibatkan masyarakat. Sebab, lemahnya pengawasan membuat
    pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan modal justru
    diuntungkan, sementara masyarakat di sekitar tambang tetap tertinggal.
  
  
    Selain itu, ia pun mengingatkan agar operasi penertiban tambang ilegal
    dibarengi dengan edukasi dan penciptaan alternatif penghidupan bagi
    masyarakat yang selama ini bergantung pada sektor tambang. Tanpa pendekatan
    yang memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi, kata Nasir, kebijakan
    penertiban justru berpotensi memunculkan masalah baru.
  
  
    “Kita butuh penegakan hukum, tapi masyarakat juga perlu diedukasi agar bisa
    mendapatkan alternatif,” ujarnya.
  
  
    Nasir juga mengapresiasi langkah Pemerintah Aceh menyiapkan penetapan
    Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Kebijakan tersebut, menurutnya, dapat
    menjadi jalan legal bagi penambang kecil agar aktivitas mereka tetap
    produktif dan tidak merusak lingkungan.
  
  
    Dalam bagian akhir pemaparannya, Nasir menyinggung inisiatif
    green policing atau pemolisian hijau yang dicanangkan Polda Aceh. Ia
    menilai langkah itu positif, tetapi mengingatkan bahwa program tersebut
    harus memiliki arah kebijakan yang jelas dan melibatkan akademisi serta
    masyarakat sipil.
  
  
    “Jangan sampai green policing hanya sekadar simbol. Yang kita
    inginkan sebenarnya adalah terbentuknya sikap dan kesadaran terhadap
    lingkungan,” tegasnya.
  
  
    Nasir menambahkan, tantangan terbesar pemerintah bukan hanya menindak pelaku
    tambang ilegal, tetapi menjaga konsistensi kebijakan agar tidak hanya muncul
    ketika isu tambang ramai dibicarakan publik. Ia juga berharap hasil diskusi
    publik ini dapat menjadi masukan konkret bagi Pemerintah Aceh dan DPRA dalam
    menata sektor pertambangan yang transparan, berkelanjutan, dan berpihak
    kepada masyarakat.
  
Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan
⸻
