Nasir Djamil Nilai Penanganan Tambang Ilegal di Aceh Perlu Pembenahan Sistemik dan Libatkan Masyarakat

Daftar Isi
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik bertema “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal dan Solusinya: Tambang Ilegal, Uang Hitam dan Solusinya” yang digelar di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa (7/10/2025). (Foto: Tangkapan layar akun YouTube Aceh Asia Multimedia).
Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, saat menyampaikan pandangannya dalam diskusi publik bertema “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal dan Solusinya: Tambang Ilegal, Uang Hitam dan Solusinya” yang digelar di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa (7/10/2025). (Foto: Tangkapan layar akun YouTube Aceh Asia Multimedia).
Nasir Djamil menilai maraknya tambang ilegal di Aceh sebagai persoalan yang butuh penataan, pengawasan, dan edukasi masyarakat.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, menilai persoalan tambang ilegal di Aceh merupakan bagian dari pekerjaan rumah nasional yang belum terselesaikan.

“Masalah pertambangan tanpa izin ini sudah menjadi pekerjaan rumah secara nasional. Hampir semua provinsi yang kami kunjungi, kami menemukan kasus serupa,” ujar Nasir dalam diskusi publik bertema “Mengurai Benang Kusut Tambang Ilegal dan Solusinya: Tambang Ilegal, Uang Hitam dan Solusinya” di Hoco Coffee, Lambhuk, Banda Aceh, Selasa (7/10/2025).

Diskusi publik itu diinisiasi oleh Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Aceh Bergerak, dan Forum Jurnalis Lingkungan Aceh (FJLA). Acara tersebut mempertemukan unsur pemerintah, legislatif, aparat penegak hukum, dan badan usaha daerah.

Sejumlah pembicara hadir, di antaranya Kepala Dinas ESDM Aceh Taufik, Kapolda Aceh yang diwakili Wadirreskrimsus AKBP Mahmun Hari Sandy Sinurat, serta Direktur PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang diwakili Direktur Pengembangan Bisnis PT PEMA Naufal Natsir Mahmud. Diskusi dipandu Direktur Forbina, Muhammad Nur. Sementara itu, Ketua Pansus Tambang DPRA Anwar Ramli dan perwakilannya berhalangan hadir.

Dalam forum tersebut, moderator menanyakan pandangan Nasir mengenai langkah cepat Pemerintah Aceh dan DPRA membentuk satuan tugas khusus pertambangan ilegal, menyusul instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas tambang ilegal di seluruh Indonesia.

Menanggapi hal itu, Nasir menyebut langkah tersebut sejalan dengan kebijakan nasional, namun harus diawasi agar tidak berhenti di tataran seremonial. Ia menilai, diskusi publik seperti ini penting untuk menjaga transparansi dan mendorong data konkret hasil temuan Pansus Pertambangan Minerba dan Migas DPRA agar dipublikasikan.

Meski begitu, laporan yang disampaikan pansus dalam rapat paripurna DPRA pada Kamis (25/9/2025), sambung Nasir, menunjukkan bahwa aktivitas tambang tanpa izin telah meluas, termasuk di wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Ia menyoroti ketimpangan antara kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang justru stagnan. Fenomena ini, kata Nasir, memperlihatkan hasil tambang belum memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ia juga mengungkapkan informasi yang diperolehnya bahwa Kabupaten Pidie menjadi daerah dengan jumlah alat berat tertinggi di Aceh.

“Saya mendapat kabar, katanya, yang paling banyak itu di Pidie. Saya kaget juga karena itu kampung saya. Saya disuguhkan data, dan dari yang saya baca, ada 852 beko di Pidie. Luar biasa itu angkanya,” ucapnya.

Nasir menjelaskan, persoalan serupa tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di berbagai provinsi lain di Indonesia. Menurutnya, lemahnya pengawasan dan koordinasi antar instansi membuat praktik tambang tanpa izin terus tumbuh dan melibatkan banyak pihak.

Oleh sebab itu, kata dia, pembenahan sektor pertambangan tidak bisa hanya mengandalkan penindakan jangka pendek, melainkan harus diikuti langkah sistemik yang melibatkan masyarakat. Sebab, lemahnya pengawasan membuat pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan modal justru diuntungkan, sementara masyarakat di sekitar tambang tetap tertinggal.

Selain itu, ia pun mengingatkan agar operasi penertiban tambang ilegal dibarengi dengan edukasi dan penciptaan alternatif penghidupan bagi masyarakat yang selama ini bergantung pada sektor tambang. Tanpa pendekatan yang memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi, kata Nasir, kebijakan penertiban justru berpotensi memunculkan masalah baru.

“Kita butuh penegakan hukum, tapi masyarakat juga perlu diedukasi agar bisa mendapatkan alternatif,” ujarnya.

Nasir juga mengapresiasi langkah Pemerintah Aceh menyiapkan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Kebijakan tersebut, menurutnya, dapat menjadi jalan legal bagi penambang kecil agar aktivitas mereka tetap produktif dan tidak merusak lingkungan.

Dalam bagian akhir pemaparannya, Nasir menyinggung inisiatif green policing atau pemolisian hijau yang dicanangkan Polda Aceh. Ia menilai langkah itu positif, tetapi mengingatkan bahwa program tersebut harus memiliki arah kebijakan yang jelas dan melibatkan akademisi serta masyarakat sipil.

“Jangan sampai green policing hanya sekadar simbol. Yang kita inginkan sebenarnya adalah terbentuknya sikap dan kesadaran terhadap lingkungan,” tegasnya.

Nasir menambahkan, tantangan terbesar pemerintah bukan hanya menindak pelaku tambang ilegal, tetapi menjaga konsistensi kebijakan agar tidak hanya muncul ketika isu tambang ramai dibicarakan publik. Ia juga berharap hasil diskusi publik ini dapat menjadi masukan konkret bagi Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menata sektor pertambangan yang transparan, berkelanjutan, dan berpihak kepada masyarakat.


Pewarta:
Muntaziruddin Sufiady Ridwan