Nepotisme di Ekosistem Leuser: Ketika Adik Bupati Jadi Pemilik Tambang
Daftar Isi
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
*Pemred Koran Aceh
Sejarah tidak akan menunggu. Ia hanya mencatat — siapa yang menjaga alam, dan siapa yang menjualnya.
koranaceh.net | Editorial ‒ Aceh Barat Daya kini berada di ujung tanduk antara kepemimpinan dan keserakahan. Di balik rencana beroperasinya PT Laguna Tambang Jaya di Kecamatan Manggeng dan Lembah Sabil, tercium aroma nepotisme yang menyengat.
Perusahaan tambang bijih besi itu bukan hanya mengantongi rekomendasi dari Bupati Safaruddin, tetapi juga melibatkan adik kandungnya, Sahlan Sabri, sebagai pemilik saham mayoritas.
Fakta ini bukan sekadar masalah administrasi perizinan, melainkan bukti nyata penyalahgunaan kekuasaan. Sulit diterima nalar, seorang bupati memberi restu kepada perusahaan milik keluarganya sendiri — dan lebih parah, wilayah yang dimaksud termasuk dalam kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), kawasan konservasi dunia yang menjadi penyangga kehidupan jutaan makhluk hidup.
Ironinya, bukan hanya sang adik yang terlibat. Dua tenaga ahli bupati, Hamdani JB dan Zulfan, duduk sebagai direktur, sementara mantan anggota DPRK Abdya, Anton Sumarno, menjabat sebagai direktur utama. Sebuah lingkaran kekuasaan yang saling menopang, dibungkus dalam narasi “pembangunan daerah” yang sejatinya hanya menyuburkan kepentingan pribadi.
Padahal, rakyat Abdya sudah berulang kali menolak aktivitas tambang di wilayah tersebut. Mereka tahu betul risikonya: hutan gundul, sungai tercemar, tanah longsor, dan sumber air bersih menghilang. Namun suara rakyat kembali tenggelam oleh kepentingan keluarga yang lebih lantang.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) bukan tanah biasa. Ia adalah paru-paru dunia, rumah bagi gajah, harimau, orangutan, dan ribuan spesies lain yang menjaga keseimbangan alam.
Menambang di sana sama saja dengan menandatangani surat kematian bagi masa depan ekologis Aceh. Lebih dari itu, tindakan ini mencoreng etika pemerintahan dan mempermalukan akal sehat publik.
Bupati Safaruddin kini berada di persimpangan: berpihak pada rakyat dan alam, atau pada keluarganya sendiri. Karena pemimpin sejati tidak menukar kehormatan jabatan dengan keuntungan keluarga. Setiap izin tambang di kawasan konservasi adalah dosa ekologis, dan setiap pejabat yang menutup mata terhadap nepotisme adalah bagian dari kejahatan itu.
Ini bukan tuduhan, melainkan peringatan moral. Jika izin tambang itu tidak segera dicabut, maka yang rusak bukan hanya hutan Leuser, tapi juga integritas kepemimpinan Aceh Barat Daya.
Minggu lalu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) telah mengultimatum agar seluruh aktivitas pertambangan ilegal dihentikan dan alat berat segera keluar dari kawasan hutan.
Laporan Pansus Tambang DPRA juga menegaskan bahwa banyak tambang ilegal di Aceh berjalan dengan bekingan aparat, disertai setoran hingga Rp 10 juta per beko per bulan.
Di tingkat nasional, Presiden Prabowo Subianto pun menegaskan komitmen untuk membatasi pertambangan yang merusak lingkungan.
Pertanyaannya kini sederhana namun menentukan: Apakah Safaruddin akan mencabut rekomendasinya dengan kesadaran dan keberanian moral — atau kita harus menunggu Muzakir Manaf dan Prabowo Subianto turun tangan untuk menegakkan akal sehat di Tanah Leuser?
Sejarah tidak akan menunggu. Ia hanya mencatat — siapa yang menjaga alam, dan siapa yang menjualnya.[]