PERHAPI dan ESDM Aceh Bahas Langkah Konkret Tertibkan Tambang Rakyat

Daftar Isi
Ilustrasi. (Gambar dibuat dengan AI).
Ilustrasi. (Gambar dibuat dengan AI).
Bahas langkah tertibkan tambang rakyat ilegal. Dialog lintas sektor ini sepakat benahi tata kelola minerba agar lebih adil dan transparan.
koranaceh.net | Banda Aceh ‒ Upaya menertibkan tambang rakyat di Aceh menjadi fokus utama dalam forum Kupie Mining Talk yang digagas oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) Aceh, Selasa (7/10/2025) sore di Moorden Café, Pango, Banda Aceh.

Forum bertajuk ‘Kupas Isu Terkini dan Dinamika Pertambangan di Aceh’ ini mempertemukan unsur pemerintah, akademisi, dan praktisi pertambangan untuk membahas arah baru tata kelola minerba di Aceh yang dinilai masih menghadapi banyak persoalan mendasar. Empat isu strategis menjadi sorotan, yakni investasi logam kritis, legalitas izin usaha pertambangan, kontribusi royalti, dan penertiban tambang ilegal.

Ketua PERHAPI Aceh, Rahmad Zahri, menegaskan bahwa forum ini dimaksudkan untuk mencari solusi nyata atas problem klasik yang selama ini menghambat sektor pertambangan daerah. “Kami ingin pertambangan di Aceh berjalan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Tambang bisa jadi penggerak ekonomi rakyat kalau dikelola dengan benar dan transparan,” ujarnya.

Rahmad menilai sinergi antarlembaga menjadi kunci pembenahan. Ia berharap dialog semacam ini tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi menjadi pijakan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan tambang yang berpihak kepada masyarakat.

Dalam forum itu, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Said Faisal, memaparkan masih terdapat enam titik lokasi tambang tanpa izin di delapan kabupaten dengan total luas sekitar 1.177 hektare.

Pemerintah, kata dia, kini sedang menyiapkan langkah pembinaan dan legalisasi melalui penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai upaya memberikan payung hukum bagi masyarakat yang selama ini menambang secara tradisional tanpa izin resmi.

“Melalui WPR, aktivitas tambang rakyat dapat diatur, dibina, dan diawasi agar lebih berkelanjutan tanpa mengabaikan keselamatan dan lingkungan,” kata Faisal.

Konteks ini menjadi semakin penting karena sektor minerba dalam lima tahun terakhir tercatat menyumbang lebih dari Rp 2 triliun ke kas negara dan daerah melalui royalti dan pendapatan bukan pajak (PNBP). Potensi tersebut diyakini bakal meningkat bila sistem izin dan data pertambangan di Aceh dapat dibenahi secara transparan.

Kendati begitu, data juga menunjukkan bahwa sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Aceh masih belum tercatat dalam sistem nasional Minerba One Data Indonesia (MODI), yang seharusnya menjadi basis tunggal data pertambangan di seluruh Indonesia. Ketidakterpaduan data ini dinilai berpotensi menimbulkan kebocoran penerimaan negara dan menurunkan akurasi kebijakan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PERHAPI Aceh, Muhammad Hardi, mengatakan bahwa legalisasi tambang rakyat tidak boleh dilakukan tergesa-gesa. Ia menekankan pentingnya kajian mendalam dan keterlibatan berbagai pihak sebelum kebijakan diberlakukan.

“Sebelum dilegalkan, tambang rakyat perlu dikaji dari sisi teknis, sosial, dan lingkungan agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari,” ujarnya.

Hardi juga menambahkan bahwa PERHAPI tidak ingin hanya berperan sebagai pengamat, melainkan mitra pemerintah dalam merancang solusi yang berkeadilan. Menurutnya, pengelolaan tambang harus menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama, bukan semata keuntungan ekonomi.

Selain membahas soal tambang rakyat, forum juga menyinggung peluang investasi di sektor logam kritis seperti tembaga dan litium yang kini menjadi fokus pemerintah Aceh. Rahmad menilai arah investasi tersebut harus diimbangi dengan kepastian hukum dan hilirisasi yang memberi nilai tambah bagi daerah.

“Peluang investasi memang terbuka, tapi manfaatnya harus terasa untuk masyarakat Aceh, bukan hanya bagi investor,” kata Rahmad.

Forum Kupie Mining Talk kemudian ditutup dengan kesepakatan untuk melanjutkan dialog secara berkala dan memperkuat koordinasi lintas sektor. Para peserta sepakat bahwa pembenahan sektor minerba Aceh harus dimulai dari keterbukaan data, konsistensi kebijakan, dan pengawasan yang tidak tebang pilih.