Perkembangan Tasawuf di Aceh: Dari Pengaruh Persia hingga Pembentukan Islam Lokal
Daftar Isi
Penulis:
Fadila Dwi Alisa | Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam, UIN Ar-Raniry.
Dipengaruhi Persia, tasawuf menjembatani Islam dan budaya lokal di Aceh. Ajaran ini melahirkan ulama besar dan membentuk identitas spiritual daerah.
koranaceh.net | Opini ‒
Aceh merupakan wilayah yang memiliki peran penting dalam proses masuk dan
berkembangnya Islam di Nusantara. Julukan
'Serambi Mekah'
bukan hanya menandakan kuatnya penerapan syariat Islam di daerah ini, tetapi
juga menggambarkan kedalaman spiritualitas masyarakatnya. Salah satu aspek
penting dalam proses itu adalah berkembangnya tasawuf atau sufisme. Ia tak
hanya berkembang sebatas ajaran spiritual keagamaan saja, tetapi juga
membentuk
identitas budaya Islam Aceh.
Dalam sejarahnya, Islam tidak datang ke Nusantara dalam satu bentuk tunggal.
Salah satu teori yang banyak dikaji oleh para sejarawan adalah
Teori Persia
yang diperkenalkan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Menurutnya, Islam masuk
ke Nusantara melalui jalur Persia, bukan langsung dari Arab ataupun India.
Pendapatnya ini didasarkan pada adanya kesamaan unsur kebudayaan dan praktik
keagamaan antara masyarakat Islam di Persia dan tradisi Islam di Nusantara,
seperti upacara peringatan Asyura, sistem tarekat, serta corak sufisme yang
kental dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, pengaruh Persia ini juga tampak pada cara Islam diterima di
Aceh. Masyarakat pada masa itu masih lekat dengan tradisi Hindu–Buddha yang
bercorak mistik dan ritual. Karena itu, ajaran
tasawuf
yang menekankan aspek batin, kesederhanaan, dan penyucian jiwa menjadi lebih
mudah diterima. Dalam hal ini, tasawuf menjadi jembatan antara ajaran Islam
yang baru datang dengan budaya lokal yang sudah lama hidup di masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, muncul tokoh-tokoh penting yang berperan dalam
mengembangkan tasawuf di Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin
as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, dan Abdurrauf as-Singkili. Hamzah Fansuri
dikenal sebagai tokoh sufi awal di dunia Melayu yang memperkenalkan ajaran
wahdatul wujud atau wujudiyah, yaitu konsep kesatuan antara
Tuhan dan makhluk.
Pemikirannya kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Syamsuddin as-Sumatrani.
Namun, ajaran tersebut mendapat kritik keras dari Nuruddin ar-Raniry, ulama
yang datang dari Gujarat dan menganut tarekat
Rifā‘iyyah. Ia menilai bahwa paham wujudiyah dapat menimbulkan kesalahpahaman
terhadap tauhid, sehingga berpotensi menyimpang dari ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah.
Perdebatan ini mencerminkan dinamika intelektual Islam di Aceh pada masa
itu, sekaligus menunjukkan bahwa tasawuf tidak hanya berkembang secara
spiritual, tetapi juga menjadi bagian dari wacana ilmiah dan politik
kesultanan.
Pada masa kejayaan
Kesultanan Aceh
abad ke-17, dukungan sultan terhadap para ulama menjadikan Aceh sebagai
pusat perkembangan tasawuf dan tarekat di Asia Tenggara. Banyak murid-murid
dari wilayah lain yang datang untuk belajar, kemudian menyebarkan ajaran
tersebut ke berbagai daerah seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Namun, ketika masa kolonial datang, pengaruh tasawuf mulai menurun lantaran
modernisasi dan intervensi politik dari pihak luar. Walau begitu,
nilai-nilai tasawuf tetap hidup dalam masyarakat Aceh, terutama dalam bentuk
praktik tarekat, tradisi keagamaan, dan pandangan hidup sehari-hari.
Menurut penulis, memahami sejarah tasawuf di Aceh tak hanya penting untuk
melihat aspek keagamaan, tetapi juga untuk memahami pembentukan karakter
Islam lokal di Nusantara. Tasawuf berperan sebagai jembatan antara ajaran
Islam universal dan budaya setempat, sehingga Islam di Aceh dapat berkembang
secara damai dan adaptif.
Dalam konteks modern, ajaran tasawuf yang menekankan keikhlasan,
kesederhanaan, dan keseimbangan batin masih relevan untuk membentuk
kepribadian Muslim yang moderat dan berakhlak. Dengan demikian, tasawuf
tidak hanya menjadi bagian dari sejarah spiritual Aceh, tetapi juga warisan
intelektual yang membentuk wajah Islam Indonesia hingga saat ini.
❖
