Rempah, Perdagangan, dan Jalan Damai Islamisasi Nusantara

Daftar Isi

Penulis:

Septi Adelina Rambe | Mahasiswi Sejarah Kebudayaan Islam, UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Ketika Islam datang, ia tidak datang dengan pedang. Ia datang bersama layar dagang. Dari jalur dagang itu, lahir damai dan peradaban.
koranaceh.net | Opini – Sebelum Islam menyentuh bumi Nusantara, wilayah yang kini bernama Indonesia sudah lebih dulu menjadi poros ekonomi dunia pada abad pertengahan. Bukan karena faktor ideologis, melainkan karena anugerah alam yang luar biasa, yakni rempah-rempah.

Sejak abad ke-13, dunia mengenal kepulauan di timur Samudra Hindia ini sebagai pusat perdagangan global. Dari cengkeh di Ternate dan Tidore, pala di Banda, hingga kayu cendana dari Timor, semua menjadi komoditas yang menentukan arah ekonomi dunia. Rempah pun bukan sekadar penyedap rasa, tapi juga menjadi teknologi pengawetan makanan—suatu kebutuhan vital di belahan Barat dunia yang kala itu belum mengenal lemari pendingin.

Jauh sebelum armada Portugis menjejak Malaka pada 1511, jalur perdagangan laut telah terbentang dari Maluku menuju Makassar, Malaka, Gujarat, Persia, hingga ke Suriah dan Laut Mediterania. Jalur ini menjadikan Nusantara, termasuk wilayah Aceh di ujung barat Sumatera, sebagai simpul penting dalam rantai perdagangan global.

Kota-kota pelabuhan di pesisir Aceh bukan hanya tempat singgah kapal dagang, melainkan pusat ekonomi yang mempengaruhi arus barang dan kekayaan di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan Samudera Pasai, yang berdiri pada abad ke-13 di pesisir utara Sumatera (kini wilayah Aceh Utara), adalah salah satu contohnya. Sebelum dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Pasai sudah menjadi pelabuhan internasional yang ramai disinggahi pedagang dari Tiongkok, Gujarat, dan kawasan Laut Merah.

Ketika Islam datang, ia tidak datang dengan pedang. Ia datang bersama layar dagang. Para saudagar Muslim dari Arab, Gujarat, dan Persia tidak hanya berdagang, tapi juga menetap, menikah dengan penduduk lokal, dan memperkenalkan nilai-nilai moral serta sistem ekonomi berbasis kejujuran dan keadilan. Dari sinilah benih Islamisasi tumbuh—melalui kepercayaan dan interaksi ekonomi yang saling menguntungkan.

Pasai dan Malaka menjadi dua kerajaan yang menunjukkan sinergi antara perdagangan dan keislaman. Keduanya tidak memeluk Islam karena paksaan, melainkan karena kesadaran akan manfaat diplomasi, perdagangan, serta legitimasi global yang ditawarkan dunia Islam kala itu. Dengan masuknya Islam, mereka memperoleh akses ke jaringan ekonomi dunia yang luas—dari Samudra Hindia hingga Laut Merah—yang memberi pengaruh besar terhadap kekuatan politik dan ekonomi lokal.

Bahasa Melayu pun menjelma menjadi lingua franca yang mempersatukan pedagang dari berbagai wilayah, menandai lahirnya kosmopolitanisme maritim Nusantara. Di titik inilah ekonomi dan spiritualitas saling bertemu: rempah mempertemukan bangsa-bangsa, dan Islam memberi arah moral bagi transaksi yang dilakukan.

Islam di Nusantara, terutama di Aceh, tidak hadir sebagai penakluk, tapi sebagai mitra dagang yang membawa pengetahuan, etika, dan tata ekonomi baru. Dalam konteks inilah Islamisasi berjalan secara damai—tidak dengan invasi, melainkan dengan kepercayaan dan keadilan ekonomi.

Rempah memang menjadi alasan dunia datang ke Nusantara. Tapi Islam menjadikannya berarti: memberi jiwa pada perdagangan, dan menjadikan ekonomi sebagai jalan dakwah yang lembut namun berpengaruh.