Rp 8 Triliun Uang Bank Aceh Syariah Mengendap di BI, Analis: Jangan Jadi ‘Idle Money'

Daftar Isi
Ilustrasi “Idle Money”. (Foto: koranaceh.net).
Ilustrasi “Idle Money”. (Foto: koranaceh.net).
Jika uang sebesar itu hanya diam di Bank Sentral, dampaknya jelas: ekonomi dasar masyarakat tidak bergerak. Padahal fungsi utama bank daerah adalah mendorong sirkulasi uang di wilayahnya.
koranaceh.net | Banda Aceh – Kebijakan Bank Aceh Syariah (BAS) yang menempatkan dana sekitar Rp 8 triliun di Bank Indonesia (BI) menuai sorotan. Praktik penyimpanan dana tersebut dinilai berpotensi menciptakan “idle money” atau uang menganggur yang tidak produktif bagi perekonomian masyarakat Aceh.

Secara aturan, perbankan memang wajib menjaga rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) dan likuiditas tertentu agar tetap dalam kategori sehat. Umumnya, sekitar 8 persen dari total modal bank harus tersedia dalam bentuk kas untuk menjamin kelayakan keuangan. Karena itu, lazin bila bank melakukan clearing atau penempatan dana pada bank sentral dan antar bank lain guna memenuhi standar likuiditas.

Namun, menurut pengamat, praktik ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menumpuk dana besar tanpa arah produktif. “Secara moneter dan fiskal, praktik 'idle money' tidak bisa dibenarkan. Dana yang menganggur di Bank Sentral sama saja menghambat perputaran ekonomi masyarakat,” ujar Dr. Taufiq A. Rahim, analis sekaligus pengamat ekonomi Aceh dalam keterangannya kepada koranaceh.net, pada Kamis (16/10/2025) di Banda Aceh.

Kebijakan BAS yang menempatkan Rp 8 triliun di BI, menurut Dr. Taufiq, menunjukkan orientasi manajemen yang hanya berfokus pada profit jangka pendek dan kepatuhan administratif, tanpa melihat dampak ekonomi makro. “Uang itu seharusnya bisa disalurkan untuk sektor riil, membiayai UMKM, koperasi, atau proyek produktif rakyat Aceh. Bukan sekadar tidur di rekening BI,” tambahnya.

OJK Diminta Turun Tangan

Selain menyoroti manajemen BAS, Dr. Taufiq juga mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pengawasan ketat terhadap praktik penempatan dana besar yang tidak produktif. Sebab, tuturnya, peran OJK penting agar dana publik yang dihimpun bank dapat berfungsi sebagai stimulus ekonomi daerah.

“Bank memang harus menjaga likuiditas, tetapi bukan berarti membiarkan uang rakyat menganggur. OJK perlu memberi peringatan agar kebijakan bank tetap selaras dengan fungsi sosial-ekonomi, bukan hanya logika bisnis keuangan,” katanya.

Lebih lanjut, akademisi dari Universitas Muhammadiyah itu menerangkan, dana sebesar Rp 8 triliun yang mengendap di BI juga menggambarkan lemahnya strategi intermediasi perbankan syariah di Aceh. Strategi intermediasi perbankan syariah sendiri merupakan pendekatan dan langkah-langkah yang diambil oleh perbankan syariah untuk menghubungkan pihak yang memiliki dana (penyimpan dana) dengan pihak yang membutuhkan dana (peminjam atau pelaku usaha) secara sesuai prinsip syariah.

“Jika uang sebesar itu hanya diam di Bank Sentral, dampaknya jelas: ekonomi dasar masyarakat tidak bergerak. Padahal fungsi utama bank daerah adalah mendorong sirkulasi uang di wilayahnya,” ujarnya,

Kritik terhadap kebijakan “idle money” ini menegaskan perlunya keseimbangan antara prinsip kehati-hatian perbankan dan tanggung jawab sosial ekonomi. Karena pada akhirnya, kehadiran bank syariah daerah diharapkan bukan sekadar mengejar keuntungan, melainkan juga menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi rakyat Aceh.


Pewarta:

Hamdan Budiman