Rp 702 Juta untuk Mendengar Rakyat?
Daftar Isi
Penulis:
Hamdan Budiman | Pemred Koran Aceh
Kenaikan dana reses disebut dengan istilah manis: penyesuaian indeks. Politik di negeri ini memang seni berbicara sambil memindahkan koma—mengganti kata pengabdian menjadi penghasilan.
koranaceh.net | Editorial ‒
Heboh dana reses DPR-RI kembali menyeruak. Di negeri yang katanya demokratis
ini, wakil rakyat tampak lebih sering menghitung angka di kertas daripada
menghitung keluh kesah rakyat di lapangan. Gaji, tunjangan, dana aspirasi,
tunjangan komunikasi, sewa rumah, bahkan tunjangan beras—semuanya mengalir
deras ke rekening para anggota dewan.
Lucunya, tunjangan beras perbulan itu bisa saja tak habis dimakan dalam beberapa tahun.
Sementara rakyat yang mereka wakili, kadang tak punya beras untuk dimasak hari
ini.
Kini, “kenaikan dana reses” disebut dengan istilah manis:
penyesuaian indeks. Menarik. Sebab yang naik selalu angka-angka di pos
anggaran, bukan kualitas dialog dengan rakyat yang seharusnya menjadi jiwa
dari kegiatan reses. Politik di negeri ini memang seni berbicara sambil
memindahkan koma—mengganti kata pengabdian menjadi penghasilan.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad buru-buru ini membantah kabar kenaikan dana
reses menjadi Rp 756 juta. Katanya, itu hanya kesalahan transfer dari
Sekretariat Jenderal DPR. Penjelasan yang, entah kenapa, terdengar seperti
bunyi klise lama: “hanya salah teknis.” Faktanya, dana reses yang
sebelumnya Rp 400 juta memang diusulkan naik menjadi Rp 702 juta, dengan
alasan penambahan indeks dan jumlah titik pengawasan di daerah pemilihan.
Kata “penambahan titik pengawasan” terdengar megah, seolah anggota
dewan menjadi penjelajah yang menyusuri pelosok negeri untuk mendengarkan
rakyat. Padahal, yang sering terjadi: dana reses hanya menjadi ajang temu
kangen dengan pengurus partai, atau bahkan hanya acara formalitas dengan
segelintir konstituen yang sudah “diatur” sebelumnya.
Ironi semakin kentara ketika di saat bersamaan, pemerintah pusat memangkas
Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah-daerah. Sementara dana reses DPR justru
naik hampir dua kali lipat. Negeri yang katanya adil makmur ini rupanya masih
memelihara ketimpangan yang disamarkan dengan kata-kata manis dan alasan
teknokratis.
Rakyat kecil hanya bisa geleng kepala. Katanya wakil rakyat, tapi kenyataannya
pemeras rakyat. Hidup di negeri kaya, tapi rakyatnya miskin, pejabatnya gemuk.
Dana reses yang semestinya jadi jembatan antara rakyat dan negara, malah
menjadi pagar tinggi yang memisahkan keduanya.
Lucunya lagi, di tengah himbauan Presiden Prabowo untuk efisiensi anggaran di
semua lini, kader partai beliau di parlemen justru sibuk menaikkan pos-pos
anggaran dengan alasan penyesuaian. Ironi di tengah krisis keadilan sosial.
Apakah benar sudah dipangkas seperti kata mereka? Atau hanya dipangkas di
mulut, tapi tetap utuh di kertas? Rakyat berhak tahu dasar hukum pencairan dan
regulasi yang sebenarnya berlaku. Transparansi bukan sekadar janji kampanye,
tapi kewajiban moral dan hukum.
Mungkin sudah saatnya kita berpikir ulang tentang konsep wakil rakyat. Jika
semua keputusan hanya memperkaya segelintir orang yang duduk di kursi empuk
parlemen, buat apa lagi istilah itu dipertahankan?
Bayangkan jika seluruh tunjangan, dana reses, dan dana pensiun pejabat
dihapus—dan gaji mereka disamakan dengan UMR. Dana sisanya dikembalikan kepada
rakyat dalam bentuk tunai setiap bulan. Barangkali baru saat itu kita bisa
menyebut negeri ini benar-benar adil. Karena selama ini, keadilan hanya jadi
bahan pidato, bukan kenyataan.[]
❖