RUU KKS Dinilai Langgar Prinsip HAM, Komnas HAM Minta Pembahasan Ditunda
Daftar Isi
![]() |
| Ilustrasi. (Foto: Dok. Ist). |
Komnas HAM desak penundaan RUU Keamanan Siber. RUU dinilai minim partisipasi publik dan berpotensi langgar prinsip HAM di ruang digital.
koranaceh.net | Jakarta ‒ Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang
Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Lembaga itu menilai rancangan aturan
tersebut belum melibatkan partisipasi publik secara bermakna dan berpotensi
mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia di ruang digital.
Komnas HAM menyoroti proses penyusunan RUU KKS yang dinilai tertutup dan minim
konsultasi publik.
Padahal, sesuai Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, setiap proses legislasi wajib melibatkan
masyarakat secara bermakna.
Baca Juga:
Dalam keterangan resmi yang diperoleh koranaceh.net, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, menyebut naskah akademik dan rancangan undang-undang yang beredar hanya
terbatas di kalangan tertentu. Hal ini, terang Anis, bertentangan dengan prinsip
transparansi dan akuntabilitas publik. “Kondisi ini dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran terhadap asas keterbukaan,” ujarnya, pada Kamis (16/10/2025).
Selain soal prosedur, Komnas HAM juga menilai sejumlah pasal dalam RUU KKS
berisiko mengabaikan hak asasi manusia. Salah satu kekhawatiran utama adalah
keterlibatan militer dalam urusan sipil, termasuk pemberian kewenangan
penyidikan kepada TNI dalam kasus siber. Komnas HAM menegaskan hal ini
bertentangan dengan prinsip supremasi sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 30
ayat (5) UUD 1945.
“Ruang siber adalah domain sipil. Pelibatan aparat militer di luar fungsi
pertahanan negara berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan,” tegas salah satu pendiri Migrant Care, lembaga advokasi isu pekerja migran Indonesia.
![]() |
| Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah. (Foto: Dok. Komnas HAM). |
Selain itu, Komnas HAM turut menyorot definisi ancaman siber dan keamanan siber yang dianggap terlalu luas dan kabur. Menurut lembaga tersebut,
ketentuan semacam itu membuka peluang pembatasan kebebasan berekspresi,
pemblokiran konten, dan pelacakan aktivitas warga tanpa mekanisme pengawasan
yudisial yang memadai.
RUU KKS pun dinilai tidak mengatur keberadaan lembaga pengawas independen yang
berfungsi melakukan kontrol terhadap kebijakan keamanan siber. Semua
kewenangan diserahkan kepada lembaga pemerintah tanpa pengawasan eksternal.
“Tanpa mekanisme koreksi publik, RUU ini berisiko menciptakan pengawasan
negara yang sewenang-wenang,” jelas Anis.
Adapun, Anis menuturkan, banyak materi dalam RUU KKS sebenarnya sudah diatur dalam
undang-undang lain seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU
Perlindungan Data Pribadi (PDP), dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Karena itu, harmonisasi diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan dan konflik norma hukum.
Baca Juga:
Komnas HAM juga mengingatkan soal kewenangan pemutusan atau perlambatan akses
internet yang diberikan secara luas kepada pemerintah. Praktik seperti itu, terang Anis, pernah terjadi di Papua pada 2019 dan telah
dinyatakan melanggar hukum oleh Mahkamah Agung. “RUU ini justru bisa memberi
dasar hukum baru bagi tindakan serupa di masa depan,” katanya.
Sebagai rekomendasi, Komnas HAM meminta pemerintah dan DPR untuk menunda
pembahasan RUU KKS hingga dilakukan kajian ulang yang transparan,
partisipatif, dan berbasis hak asasi manusia. Lembaga itu juga mengusulkan
agar kewenangan militer dalam ranah dihapus, serta menambahkan mekanisme
pengawasan independen dan yudisial guna menjamin akuntabilitas kebijakan
digital.
Sistem keamanan siber nasional, tegas Komnas HAM, seharusnya dibangun dengan
berpijak pada prinsip keamanan berbasis hak asasi manusia — bukan sebagai alat
kontrol negara. “Pembangunan sistem keamanan siber nasional harus berpijak pada prinsip keamanan berbasis hak asasi manusia,” pungkas Anis Hidayah.
❖

