Sisa Surga yang Masih Tersisa: Saat Aceh Harus Menata Tambangnya

Daftar Isi
Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh
Kini, semua berpulang pada keberanian Aceh menjaga sisa surga yang masih tersisa. Karena bila alam telah pergi, maka bukan hanya tambang yang kehilangan makna, tetapi juga marwah dan masa depan Aceh itu sendiri. 

 koranaceh.net | Editorial ‒ Aceh, provinsi yang dahulu dijuluki Serambi Mekkah, kini berdiri di ambang pilihan sulit: menjaga sisa surga alamnya atau membiarkannya terkikis oleh kerakusan tambang. Saat kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Indonesia mencapai tahap mengkhawatirkan, Aceh masih memiliki hutan, sungai, dan tanah yang relatif terjaga. Namun, waktu terus berjalan, dan ancaman tambang ilegal semakin nyata.


Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh hingga Juni 2025 menunjukkan terdapat 64 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Minerba, dengan 13 di antaranya tambang emas seluas 24.045 hektare yang tersebar di enam kabupaten. Namun di luar izin resmi itu, beroperasi pula ratusan alat berat tanpa izin. Tambang-tambang liar ini mengeruk isi bumi tanpa tanggung jawab, meninggalkan jejak kehancuran ekologis yang semakin meluas.

Langkah Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) melalui Instruksi Gubernur Nomor 08/INSTR/2025 menjadi angin segar di tengah keputusasaan publik. Komitmen untuk menertibkan tambang ilegal dan menata izin resmi merupakan langkah berani yang jarang diambil kepala daerah. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah benar-benar akan menyingkirkan mafia tambang, atau hanya menjadi retorika politik yang mudah terlupakan?

Laporan Pansus Minerba DPR Aceh menunjukkan indikasi kuat adanya keterlibatan oknum aparat dan pengusaha dalam praktik tambang ilegal. Kondisi ini mencerminkan apa yang disebut Anggota DPR RI Nasir Djamil sebagai predator state — ketika hukum tunduk pada kepentingan segelintir elite. Dalam situasi semacam ini, rakyat dan lingkungan menjadi korban paling awal.

Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal bukan hanya soal pohon yang tumbang, tetapi juga tentang masa depan yang suram. WALHI Aceh mencatat, pencemaran air, deforestasi, dan longsor meningkat di sekitar wilayah tambang. Bila tidak segera dikendalikan, Aceh akan mengulangi nasib provinsi lain yang telah kehilangan keseimbangan alamnya.

Sebagai langkah konkret, Pemerintah Aceh kini tengah menyiapkan Peraturan Gubernur tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) — kebijakan yang memberi ruang legal bagi masyarakat menambang secara resmi tanpa bergantung pada jaringan ilegal. Namun, keberhasilan WPR bergantung pada satu hal: keberanian politik untuk menolak kompromi dengan kepentingan pribadi dan kelompok.

Penataan tambang di Aceh bukan hanya urusan izin, tapi ujian moral bagi para pemimpin. Bila kebijakan ini dijalankan dengan integritas dan ketegasan, Aceh bisa menjadi model tata kelola tambang berkeadilan di Indonesia — daerah yang tak hanya kaya sumber daya, tetapi juga kaya kesadaran ekologis.

Kini, semua berpulang pada keberanian Aceh menjaga sisa surga yang masih tersisa. Karena bila alam telah pergi, maka bukan hanya tambang yang kehilangan makna, tetapi juga marwah dan masa depan Aceh itu sendiri.[]