Pilkada Aceh Melanggar UUPA: Analisis Situasi Politik Terkini
Pelaksanaan Pilkada Aceh 2024 berpotensi menjadi tindakan inkonstitusional... kondisi ini menciptakan ketidakadilan dan merugikan masyarakat Aceh, serta menunjukkan lemahnya elite politik lokal dalam memperjuangkan otonomi dan hak-hak Aceh.
Hamdan Budiman
*Pimred koranceh.net
Pilkada Aceh 2024 akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam. Konstitusi dan regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini justru terabaikan. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) tampak dipinggirkan, menciptakan kondisi politik yang tidak sehat dan merugikan masyarakat Aceh.
Salah satu pasal yang krusial dalam UUPA, yakni Pasal 65 Ayat 1, menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan lima tahun sekali. Oleh karena itu, seharusnya Pilkada Aceh dilaksanakan pada 2022, mengingat Pilkada sebelumnya pada 2017.
Namun, intervensi politik dari Pemerintah Pusat telah merusak kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang telah disepakati. Dengan kata lain, pelaksanaan Pilkada Aceh 2024 berpotensi menjadi tindakan inkonstitusional.
Intervensi ini bukan hanya sekadar pelanggaran terhadap UUPA, tetapi juga menandakan adanya krisis kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya menjamin keadilan dan kemandirian Aceh. Elite politik dan pemerintahan terlihat pasif, bahkan terkesan menerima situasi ini tanpa ada upaya untuk mengingatkan dan memperjuangkan keistimewaan Aceh yang diatur dalam lex specialist.
Keadaan ini menciptakan pandangan bahwa kekuatan politik di Aceh telah beralih kepada pusat, menghilangkan semangat dan aspirasi otonomi yang selama ini diperjuangkan. Keberadaan UUPA sebagai landasan hukum yang diperoleh melalui Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005 seharusnya menjadi jaminan bagi rakyat Aceh.
Namun, apa yang terjadi sebaliknya. Situasi sekarang menunjukkan bahwa legitimasi hukum rakyat Aceh semakin dipertanyakan. Rakyat Aceh kembali merasa terpojok, seolah-olah berhadapan dengan kekuatan politik yang dominan di Jakarta, yang berupaya meninjau ulang hak-hak yang telah diberikan.
Lebih parah lagi, elite politik lokal tampak tak berdaya, terjebak dalam skenario politik yang kerap dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Desakan untuk memenangkan kontestasi Pilkada dengan cara-cara yang tidak sesuai etika dan hukum semakin marak, seolah menghalalkan segala cara. Dalam hal ini, sikap tidak adil terhadap aturan hukum menyebabkan proses demokrasi menjadi cacat dan tidak berkualitas.
Di sisi lain, posisi Penjabat Gubernur yang dipilih pemerintah pusat menjadi simbol hilangnya kedaulatan Aceh dalam menentukan masa depannya. Penempatan PJ Gubernur yang setara dengan provinsi lain di Indonesia, membuat seakan-akan Aceh tidak lagi memiliki kekhasan tersendiri sebagai daerah dengan otonomi khusus. UUPA, yang seharusnya menjadi perisai bagi Aceh, justru dibuang begitu saja tanpa adanya pertanggungjawaban dari pihak berwenang.
Akhirnya, kondisi ini menuntut kita untuk lebih jeli dalam menganalisis dampak dari pelanggaran yang terjadi. Korupsi, mafia anggaran, dan permainan politik yang mengedepankan kepentingan kelompok tertentu hanya akan merugikan rakyat Aceh. Oleh karena itu, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran melalui pemahaman hukum yang mendalam dan perjuangan kolektif menjadi sebuah keniscayaan.
Aceh mesti bangkit untuk merebut kembali hak-haknya, memastikan bahwa kemerdekaan dan keistimewaan yang telah diperjuangkan tidak sirna begitu saja. Dalam era ketidakpastian ini, harapan akan sebuah demokrasi sejati di Aceh tetap hidup, asalkan semua pihak mau berusaha dan bersatu.
Tidak ada komentar