Mitomania: Kebohongan Kronis dalam Konteks Reward and Punishment

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh

Ketika kebohongan menjadi kebiasaan: Bisakah kita menciptakan ruang yang mendukung kejujuran?

Mitomania, atau yang sering dikenal sebagai kebohongan kronis, merupakan suatu kondisi di mana individu terlibat dalam perilaku berbicara bohong secara teratur dan berulang. 

Kebohongan ini bukan hanya terjadi secara sporadis, tetapi menjadi bagian dari pola perilaku yang sudah mendarah daging.

Baca Juga:
Memorial Living Park & Korban Pelanggaran HAM di Aceh

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap mitomania adalah efek dari sistem reward and punishment yang dialami individu tersebut, baik dalam konteks sosial, keluarga, maupun lingkungan kerja.

Dalam banyak kasus, mitomania muncul sebagai upaya untuk memperoleh penghargaan atau menghindari hukuman. 

Individu yang menderita mitomania sering kali merasa tertekan oleh ekspektasi lingkungan sekitarnya. Mereka mungkin merasa bahwa kebohongan adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan rasa diterima atau mendapatkan pujian. 

Misalnya, seorang karyawan yang merasa tidak yakin akan kemampuannya mungkin akan berbohong tentang prestasi yang telah dicapainya agar bisa mendapatkan pengakuan dari atasan. 

Kebohongan seperti ini bisa membuahkan ‘reward’ berupa promosi atau bonus, yang justru memperkuat perilaku berbohong ini di masa mendatang.

Baca Juga:
Sycophant Dalam Deferensiasi: Sebuah Pendekatan

Di sisi lain, mitomania juga dapat dipicu oleh pengalaman hukuman atau konsekuensi negatif dari tindakan yang sebenarnya. 

Individu yang pernah mengalami dampak buruk dari kejujuran mungkin merasa bahwa kebohongan adalah cara terbaik untuk melindungi diri. 

Contohnya, seorang remaja yang berbohong kepada orangtua tentang tempat ia berada pada malam hari mungkin melakukannya karena ia takut akan hukuman jika ia mengungkapkan kebenaran. 

Dalam kasus ini, kebohongan menjadi mekanisme pertahanan yang memungkinkan individu tersebut untuk menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Namun, perilaku mitomania tidak selalu dihasilkan dari situasi yang ekstrem. Terkadang, kebohongan kecil untuk mendapatkan perhatian atau simpati dari orang lain bisa menumbuhkan kebiasaan yang lebih besar.

Baca Juga:
Kekuatan Media Online: Antara Manfaat dan Tantangan

Misalnya, seseorang mungkin mulai dengan membesar-besarkan cerita pengalaman pribadi untuk mendapatkan reaksi positif dari teman-temannya. 

Jika reaksi tersebut memuaskan, individu tersebut akan terdorong untuk melakukan hal yang sama di masa mendatang, memperkuat pola perilaku kebohongan ini.

Dari perspektif psikologis, mitomania dapat berakar dari berbagai kondisi mental, seperti gangguan kepribadian, kecemasan sosial, atau bahkan rendahnya rasa percaya diri.

Individu dengan mitomania sering kali menghadapi tantangan serius dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat.

Baca Juga:
Kerangka Berfikir Kritis bagi Seorang Jurnalis

Kepercayaan yang dihasilkan dari kebohongan yang terus-menerus dapat merusak hubungan interpersonal, baik itu dalam lingkup keluarga, persahabatan, maupun profesional.

Mitomania sebagai kebohongan kronis dapat dipahami melalui lensa reward and punishment. Kebohongan menjadi alat untuk mencapai penghargaan atau menghindari hukuman. 

Oleh karena itu, penting bagi individu dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kejujuran dan pemahaman, di mana individu merasa aman untuk berbagi kebenaran tanpa takut akan konsekuensi yang merugikan. 

Hanya dengan cara ini kita dapat mengurangi fenomena mitomania dan meningkatkan kualitas interaksi sosial.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.